Thursday, March 15, 2012

rumah tuhan

masjid Quba


Ini bukan percakapan fiktif, tapi benar-benar terjadi dalam sebuah pemaparan desain untuk rencana induk sebuah pusat kesenian di cikini, pada suatu instansi pemerintah terkait yang identik dengan seragam berwarna khaki. Satu dari gugusan massa yang didesain adalah sebuah masjid.

T: Desain masjidnya kok sederhana sekali?
J: Memang tidak perlu mewah kan, Pak?

T: Kok nggak ada kubahnya?
J: Memang tidak perlu kubah kan, Pak?

T: Lalu bagaimana orang bisa langsung tahu kalau itu masjid?
J: Memang tidak perlu langsung tahu kan, Pak? Tapi nantinya, dengan bantuan signage, orang akan tahu.

T: Begini ya, Dik, desain bangunan kan harus kontekstual, mengandung unsur yang ada selama ini kan sudah identik dengan kubah. selain itu, harus ada ornamen islami-nya dong. Kalau tidak begitu, ini bisa jadi bangunan apa saja, kan?

Lalu desain masjid yang sederhana itu ditolak, karena masjid itu tidak mengenakan kubah di kepalanya dan tidak memiliki ornamen islami--apa pun  itu--pada tubuhnya. Tanpa keduanya, desain yang kami ajukan tidak bisa disebut masjid.

Padahal, kubah atau dome, punya sejarah panjang yang awalnya sama sekali tak berkaitan dengan Islam. Kubah pertama yang tercatat dibangun tak lama sesudah kebakaran besar di Roma pada tahun 64 SM, di Domus Aurea yang terletak di lereng gunung Palatine. Sedang kubah, sebagai fitur arsitektur masjid, baru tercatat paling tidak sekitar abad ke-12. Jika masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah--Masjid Quba dan Masjid Nabawi di Madinah--berangka tahun 622 M, maka sangat mungkin pada awalnya keduanya tak berkubah.

Padahal, Masjid Hagia Sophia, yang arsitektur kubah raksasanya menjadi model dari banyak masjid dinasti Ottoman (Utsmaniyah) yang agresif menyebarkan Islam ke daratan Eropa--seperti Masjid Sultan Ahmed (Blue Mosque), Masjid Sehzade, Masjid Suleymaniye dan Masjid Rustem Pasha--pada mulanya adalah sebuah patriarchal basilica. Sebuah katedral, yang dibangun atas perintah Justinian, seorang kaisar Kristen, pada tahun 532 hingga 537, dan dianggap sebagai puncak kejayaan arsitektur Byzantium.


Domus Aurea (Roma)


Padahal, arsitektur Kristen Renaissance-lah yang mempopulerkan bentuk kubah semenjak abad ke-15 dan mencapai puncaknya pada awal abad ke-18 dalam periode Barok. Penyebaran arsitektur kubah ini tidak hanya melingkupi Eropa, tapi meluas hingga ke Turki, India dan Timur Tengah. Di area ini, model kubah yang paling banyak dipakai adalah yang berbentuk bawang, misalnya Taj Mahal di India, makam mewah tanda cinta.


Masjid Demak

Padahal, Masjid Demak, masjid pertama di Pulau Jawa yang dibangun pada tahun1474 oleh para wali, memiliki atap miring bersusun yang menyerupai konstruksi atap pagoda atau kuil-kuil Hindu. Demikian juga Masjid agung di Yogyakarta. Arsitektur masjid di Jawa ini bahkan pada akhirnya memengaruhi bentuk arsitektur masjid negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, dan Filipina Selatan. Tak ada kubah di sana.

Jika masjid berakar kata sa-ja-da yang artinya bersujud, bukankah hanya itu yang penting? Tempat bersujud--memuliakan nama-Nya?

Tapi baiklah. Ini sekedar masalah identitas. Kubah telah dipilih oleh sebuah konvensi untuk menjadi identitas arsitektur masjid, sehingga lalu ada ke-"kubah"-an dalam Islam. Sama seperti ada kaligrafi Arab dan ayat-ayat Al-Quran di dinding-dinding atau langit-langit masjid dalam Islam. Keduanya menjadi penanda atau simbol untuk menghadirkan Islam dalam sebuah bangunan. Mungkin itu yang dimaksud oleh bapak berseragam khaki di atas sebagai "ornamen islami".

Ini religious symbolism: penggunaan simbol-simbol, termasuk bentuk-bentuk arsitektur, seni, kejadian-kejadian, atau fenomena alam, oleh sebuah agama. Simbol-simbol membantu menggaungkan mitos-mitos yang mengekspresikan nilai-nilai moral dari ajaran tersebut, membina solidaritas di antara sesama pemeluk, dan membimbing mereka untuk lebih dekat pada yang dipuja.

Simbol punya keterikatan sejarah yang tidak selalu datang dari dalam. Lebih sering, itu adalah hasil kesepakatan yang bersifat politis. Dan simbol adalah perangkat yang paling mudah digunakan untuk mendefinisikan sebuah rumah ibadah atau rumah Tuhan. Seperti patung ayam di pucuk atap gereja Calvinist. Seperti salib di gereja Protestan dan Katolik. Seperti bintang Daud di rumah ibadah Yahudi.

Namun, adakah Tuhan di rumah Tuhan itu?

Seorang teman menemukan Tuhan dalam kabin pesawat yang sempit, ketika ketakutan dan kekaguman akan ketidakberdayaan begitu dekat. Ketika hidup dan mati dipisahkan hanya oleh hal-hal yang kita tidak tahu dan bisa terjadi kapan saja. Ketika keagunganNya terbentang luas di bawah kakinya yang hanya bisa pasrah. Teman yang lain menemukan Tuhan di wajah anaknya yang sedang nyenyak tidur. Teman lain lagi menemukan Tuhan dalam mata kekasih dan senyum di balik gerimis. Ada tempat-tempat dan situasi tertentu yang menggugah jiwa kita untuk bersujud dan menyebut nama-Nya dalam kekaguman yang, sesungguhnya, tak terkatakan: Tuhan Mahabesar. Maha-diucapkan untuk melampaui yang terukur: puncak gunung, jurang yang dalam, laut yang bergelora, matahari terbenam, kelahiran, kematian, gunung meletus, hutan hujan, hujan, lembah hijau, cahaya, fajar menyingsing, bintang jatuh. Dan kita terpana, terpesona, tak berdaya akan kebesaran-Nya.

Tidak semudah menyematkan simbol, membangun sebuah rumah ibadah--Rumah Tuhan--pada dasarnya adalah sebuah upaya mereplika kondisi di atas ke dalam sebuah "ruang" untuk mendapatkan kembali pengalaman itu. Momen keterkejutan, ketakutan, kekaguman pada kehadiran Tuhan. Kehadiran itu sendiri relatif. Tidak pernah sama. Tidak mungkin terulang. Karena itu, setiap usaha akhirnya adalah ikhtiar yang sayup. Dalam upayanya, manusia lalu mencari tempat-tempat yang menakjubkan sebagai titik meletakkan batu untuk rumah Tuhan. Pura Besakih adalah satu contoh. Bayangkan sebuah dini di sana. Di ketinggian lereng Gunung Agung itu ada gugusan pura yang masih hitam. Diam. Tapi langit begitu hidup, gumpalan awan itu begitu takjub, menyingkir pada cahaya yang sedikit tapi kuasa memulai hari.

"SKALA, PROPORSI, MEMEGANG PERAN PENTING DALAM DESAIN SEBUAH RUMAH TUHAN DI MANA TUHAN HADIR MELALUI KETINGGIAN DAN KEMEGAHAN."

Besakih tak pernah lebih dari saksi yang tergetar. Hal yang sama dilakukan oleh arsitek yang merencakan dan mendirikan biara-biara di Eropa. Juga Borobudur di Jawa. Juga masjid Iqbal di Lahore, Pakistan. Letak batu pertama menentukan.

Pura Besakih


Di tempat-tempat itu, manusia lalu jadi "kecil" dan Dia yang hadir melalui bentang alam yang menakjubkan itu menjadi Mahabesar. Skala, proporsi, memegang peran penting dalam desain sebuah rumahTuhan di mana Tuhan hadir melalui ketinggian dan kemegahn.

Tapi momen adalah tentang waktu. Dan waktu pertama-tama ditera melalui cahaya. Cahaya menyebabkan waktu memiliki kualitas ruang dan ruang menjadi mungkin. Terukur--pagi, siang, malam, detik, menit, tahun. Terindra dan bisa dikenali. Tapi waktu juga, dengan segala ketakterdugaan dan perubahan, yang selalu menyadarkan kita akan kehadiran yang tidak. Karena itu, cahaya adalah :material lain" yang penting ada dalam desain sebuah rumah ibadah. Sesuatu yang secara intuitif kita hadirkan untuk menyadari Yang Tak Terukur.

Terang di atas, gelap di bawah. Dalam desain gereja Gotik, jendela kaca yang memasukkan cahaya selalu berada di atas kepala. Cahaya masuk secara dramatis dari atas membelah gelap di ketinggian manusia. Di sini, Tuhan hadir sebagai cahaya. Dia dilukiskan sebagai Yang Tinggi, yang jauh dari jangkauan dan kemampuan manusia untuk mengerti. Cahaya juga yang membelah ruang menjadi gelap dan terang. Dan kontra digunakan untuk menandai wilayah itu, gelap yang akrab dan terang yang tak dikenal. Melalui momen-momen yang selalu berubah dan tak terduga itu pula kita belajar tentang yang sementara dan yang kekal. Dan tak habis-habis menjadi takjub.

Namun, sesudah semua itu, saya lebih percaya bahwa sesungguhnya sebuah rumah ibadah, lengkap dengan simbol-simbol dan kualitas sakralnya, hanyalah sebuah ruang transisi yang dimaksudkan untuk membantu kita pergi ke satu ruang yang lebih pribadi. Lebih sakral. Suwung.

Maka jika anda minta saya menulis, adakah Tuhan di rumah Tuhan; selamanya pena saya akan tergantung di udara, tak mampu mendarat bahkan pada satu titik pun.


No comments:

Post a Comment