Thursday, March 15, 2012

jendela

jendela

Lewat jendela apartemennya yang berkamar dua, L.B. Jefferies dapat mengamati kehidupan tetangga-tetangganya memalui jendela-jendela apartemen mereka. Sepasang pengantin baru yang tak pernah meninggalkan kamar, seorang komposer musik berbakat, sepasang suami istri pemilik anjing yang selalu tidur di balkon, seorang pematung, penari balet yang tak pernah berhenti menari bahkan ketika sarapan, seorang perempuan kesepian, dan sepasang suami istri yang selalu bertengkar. Lewat jendela itu pula, atmosfer sepotong kota yang sibuk hadir lengkap dari pagi hingga pagi lagi, dengan berbagai bau, asap, udara panas bunyi-bunyian dan segala macam peristiwa.

Satu di antaranya: pembunuhan.

Lewat film Rear Window, Alfred Hitchcock dengan cerdas dan cermat menangkap fenomena ini--jendela dan kehidupan--kehidupan di baliknya, yang kita tidak pernah benar-benar tahu, dan karena itu justru jadi menarik. Jendela memungkinkan kita memilih untuk masuk ke dalam kehidupan "yang lain", "yang asing", dengan level keterlibatan yang bisa kita tentukan sendiri. Kita bisa sekedar melihat sambil lewat, atau terlibat untuk menerka, mereka, membuat kesimpulan, curiga, berprasangka, juga berharap-harap cemas. Seperti menonton reality show.

Dan, siapa bilang kita juga tidak sedang diamati?

Semenjak arsitektur mengambil kecil dunia untuk dijadikannya ruang, terciptalah dunia luar (eksterior) dan dalam (interior) dengan perbedaan karakter yang begitu mencolok. Ruang-dalam memberi kita perasaan tentang "tempat", tentang suatu selubung yang melingkupi kita, menjaga dan melindungi kita--entah sendiri entah tidak. Ruang luar membuka peluang untuk keterbukaan, berbagai macam interaksi yang terduga dan tidak, ketakterlindungan, juga kebebasan dan petualangan. Seseorang bisa saja berada di luar atau di dalam. Itu berarti segala elemen bukaan seperti ambang, pintu, lubang angin, jendela, lalu menjadi area transisi sekaligus penghubung yang tak terelakkan dari dua dunia tersebut.

Lalu, ada apa dengan jendela? Apa yang mengakibatkan dia begitu berbeda dengan pintu, ambang, dan lubang angin, sehingga begitu banyak ungkapan yang menggunakan kata "jendela?" "Mata adalah jendela hati", "Buku adalah jendela dunia", "Jika Tuhan menutup pintu, Ia akan membukakan jendela". Bahkan Bill Gates memakai "jendela" menjadi metafor, sekaligus merek dagang dari sistem operasi komputer yang paling banyak dipakai di seluruh dunia.

Saya pikir ini soal ambiguitas.

Lubang angin berfungsi semata-mata lubang untuk sirkulasi udara dari luar ke dalam dan sebaliknya, hingga ruang-ruang dalam punya kualitas udara yang baik. Tidak pengap dan lembab. Ambang dibuat untuk meloloskan orang ke dalam dan ke luar bangunan. Pintu, sedikit lebih fasistik. Ia menyaring siapa-siapa yang bisa masuk dan bisa keluar. Keluar?

Ya. Ketika kecil ibu saya mengharuskan kami, anak-anaknya, untuk tidur siang. Supaya tidak kabur, ia mengunci pintu kamar tidur dari luar. Tapi anak-anak nakal ini selalu berhasil lolos lewat jendela, main di rumah tetangga atau di lapangan dekat rumah, dan kembali sebelum tiba waktunya ibu membangunkan kami, anak-anak manis yang mengerjap-ngerjapkan mata seolah baru terjaga.

Ini dia. Jendela adalah sebuah alternatif. Dengan ukurannya, ia adalah sebuah lubang besar yang membuka dunia dalam terhadap dunia luar dan sebaliknya. Tapi dengan posisi perletakkannya, ia juga membatasi lalu lintas fisik antar keduanya itu. Ada sedikit usaha yang harus dikerahkan kalau kita ingin keluar atau masuk lewat jendela. Jendela lalu menjadi sebuah terobosan, tapi juga batas. Ia adalah lubang yang "bingung". Ambigu. Tapi justru di sini asyiknya.




Ada dua ambiguitas yang bisa kita tera. Pertama, secara fisik, jendela menjaga batas itu--ruang luar dan ruang dalam. Eksterior dan interior. Namun secara visual, ia justru membaurkan keduanya. Kedua, jendela membagi orang dalam dua peran--pengamat dan yang diamati. Pengintip dan yang diintip.

JENDELA MEMBAGI ORANG DALAM DUA PERAN--PENGAMAT DAN YANG DIAMATI. PENGINTIP DAN YANG DIINTIP.

Dalam peristiwa visual ini, jendela memang menjadi semacam diagframa dengan tingkat transparansi yang bisa dikendalikan untuk kepentingan si pengintip. Tapi juga ada (kemungkinan) adegan yang dipersiapkan oleh orang yang diintip. Dengan kata lain, selain menjadi penonton, lewat jendela, orang jadi punya kesempatan untuk "mempertontonkan diri". Tentu sudah dengan format yang diedit, dipersiapkan untuk kepentingan pengamat. Bukankah pada dasarnya semua orang senang tampil?

Contohnya, hampir tak mungkin kita melihat adegan pertengkaran suami istri di jendela. Tapi beberapa kali pasti kita pernah memergoki seorang suami mencium mesra istrinya sebelum berangkat ke kantor. Hampir tak mungkin, lewat jendela, kita memergoki seorang perempuan cantik mengupil. Tapi sangat mungkin melihatnya sedang duduk manis membaca sambil minum teh.




Jendela, elemen arsitektur sederhana ini, lalu menjadi begitu kompleks. Melalui lubang yang sama, ekterior dan interior membaur dan terpisah. Melalui lubang yang sama, kita menonton dan mempertontonkan diri. Lepas dari fungsi praktisnya untuk memasukkan udara dan cahaya alami ke dalam rumah, lewat jendela, kita bahkan bisa menebak selera berpakaian dari pemilik rumah. Hampir bisa dipastikan, perempuan pemilik rumah dengan desain jendela berukir rumit, dengan gorden bermotif klasik dan berenda emas, tak mungkin keluar rumah dengan jins belel dan kaus oblong sedrhana. Sama hampir pastinya, seorang lelaki dengan jendela bergorden warna pink, tak mungkin mengendarai motor gede dengan jaket kulit dan celana ketat.

Tapi saya bisa salah. Karena, apa pun yang ada di balik jendela, selamanya adalah sesuatu yang bukan di sini. Cuma sesuatu yang kita pikir kita tahu. Tapi paling tidak, apabila yang kita lihat di balik jendela tidak menyenangkan hati, kita tahu pasti, kita aman dan terpisah darinya.


No comments:

Post a Comment