Saturday, April 21, 2012

dari Raden Ajeng Kartini

Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam mulai merambat ke leher,
encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang.
Dan angin pantai Jepara yang kering
berjingkat pelan di alis yang tenang;
di pelupuknya anak-anak kesunyian
ingin lelap berbaring, ingin teduh dan tenteram.

“Terimalah salam damaiku
lewat angin laut yang kencang, dinda.
Resah tengah kucoba.
Sepi kuasah dengan pena.
Kaudengarkah suara gamelan
tak putus-putusnya dilantunkan
di pendapa agung yang dijaga
tiang-tiang perkasa
hanya untuk mengalunkan
tembang-tembang lara?
Kaudengarkah juga
derap kereta di jauhan
datang melaju ke arah jantungku.”

Kereta api hitam berderap membelah malam,
melintasi hamparan kelabu perkebunan tebu.
Kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,
di belakangnya perempuan-perempuan pemberani
berduyun-duyun mengusung matahari.

“Perahu-perahu kembara, dinda,
telah kulepas dari pantai Jepara.
Berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku
ke gugusan hijau pulau-pulau Nusantara.
Berlayarlah ke negeri-negeri jauh,
ke Nederland sana.
Seperti kukatakan pada Ny. Abendanon
dan Stella: ingin rasanya aku
menembus gerbang cakrawala.”

Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Tangan masih menyurat di atas kertas.
Hati melemas pada berkas-berkas cemas.
Angin merambat lewat kain dan kebaya.
Dingin merayap hingga sanggulnya.
Dan anak-anak kesunyian bergelayutan
pada bulu matanya yang sayup,
yang mengungkai cahaya redup.

“Sering kubayangkan, dinda,
perempuan-perempuan perkasa
berbondong-bondong menyunggi matahari,
menggendong bukit-bukit tandus
di gugusan pegunungan seribu
menuju hingar-bingar pasar palawija
di keheningan langit Jogja.
Kubayangkan pula
ladang-ladang karang
dirambah, disiangi
kaki-kaki telanjang
dengan darah sepanjang zaman.”

Kereta api hitan berderap membelah malam,
membangunkan si lelap dari tidur panjang.
Jari masih menulis bersama gerimis,
bersama angin dan kenangan.
Di telapak tangannya perahu-perahu dilayarkan
ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh
tak terjangkau.

“Badai, dinda,
badai menyerbu ke atas ranjang.
Kaudengarkah kini biduk mimpiku
sebentar lagi karam
di laut Rembang?”

Raden Ajeng Kartini terkantuk-kantuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam membara, encok meruyak pula.
Dan sepasang alap-alap melesat
dari ujung pena yang luka.

Friday, April 20, 2012

kesetimbangan

kesetimbangan


Passion: something that excites your energy and your spirit. 
~Sir Ken Robinson

Kesetimbangan adalah keadaan setimbang. Berada dalam titik keseimbangan.

Dalam pekerjaan -apapun itu pekerjaannya- sangat diperlukan titik kesetimbangan. Sebuah pekerjaan yang membuat pikiran tenang. Apa yang kita lakukan juga memenuhi batin. Semangat yang menyala pada setiap harinya. Mantap dan tidak goyah dalam kesetimbangan bukan berarti tidak beriak. Riak-riak dalam keseharian bekerja membuat kita tersadar : apa yang kita kerjakan, di mana kita berdiri, untuk apa kita berkarya. Riak membuat kita berefleksi.

Kesetimbangan adalah bekerja dan belajar. Belajar dan bekerja. Keduanya tidak selalu harus di tempat yang nyaman, tetapi harus kondusif dalam lingkungan yang sehat. Terkadang tempat yang terlalu nyaman malah membuat kita tidak belajar. Tidak mumpuni berkarya. Terlalu tenang bukanlah kesetimbangan.

Kesetimbangan adalah titik energi yang berada di pusat. Ia tidak kurang, tidak pula lebih. Ketika energi yang dikeluarkan tidak tergantikan penuh sehingga menjadi celah yang semakin menganga, kita semakin menjauh dari kesetimbangan. Semangat meredup seiring waktu berjalan. Tempat yang  sehat akan menggantikan energi yang kita keluarkan, membuat kita belajar dari 'ketidaknyamanan'.

Kesetimbangan adalah sebuah titik bergerak. Berkembang sejalan dengan gairah yang bertumbuh. Berjalan seiring dengan kedewasaan.

Terkadang aku merasa tidak berada di titik kesetimbangan ketika aku tidak memiliki energi untuk bisa mengeluarkan pikiranku dalam tulisan. Atau, ketika energi untuk melakukan hal-hal menyenangkan habis terkuras, seperti tangki yang (tanpa kita sadari) bocor. Dan pada itu kita dapat bertanya, apakah kita belum menemukan gairah yang sesungguhnya, ataukah energi dan semangat yang seharusnya membakar tidak berada dalam tungku yang tepat?

Untukmu : apakah energi, semangat, dan gairahmu sudah benar-benar dalam kesetimbangan?

Wednesday, April 18, 2012

"apakah manusia masih mengerti tujuan hidup?"

Banyak sekali hal-hal kecil di sekitar kita yang tercerabut parameternya. Ukuran nilai jadi tidak jelas, baik, buruk, pantas atau tidak menjadi kabur. 

Selama beberapa jam dengan seorang teman, kami ngobrol panjang lebar mengenai ini. "Apakah manusia masih mengerti tujuan hidup?"

Pada masa kanak-kanak, dimana dirinya berada pada tahap awal belajar, disuapi dengan ukuran nilai yang makin meninggalkan kemanusiaannya. Tadinya yang dia mengerti, hidup adalah kasih sayang, cinta ibunya. Pintar dan bodoh, diukur dari kemampuannya menyenangkan hati orang tuanya. Lantas ketika dia masuk sekolah, semua dihancurkannya, pintar adalah mendapat angka 9 ketika ujian, bodoh adalah mendapat angka 5 di lembaran.

Konsep "saling bantu" pun jadi buyar, ketika orientasinya dijadikan transaksi materi. "Saya bantu kamu, asal...bla...bla...bla..." Itu melesat jauh dari kecenderungan pengajaran kasih sayang lewat cinta kasih orang tua. Transaksinya spiritual cinta dibalas patuh. Baiklah manusia memang "makhluk transaksional", tapi ada letaknya. Transaksi ekonomi materi ujungnya adalah laba tempatnya adalah niaga. Jujur.

Sedang prinsip transaksi spriritual adalah "serve to other" melupakan kepentingan diri, membahagiakan orang lain. Tidak lantas terbalik-balik, transaksi material untuk spiritual atau sebaliknya. akhirnya absurd. "Menolong adalah mendapatkan laba uang."

Akhirnya, sekolah menyeret seseorang justru untuk lebih jauh dari "mengenal dirinya" sebagai manusia. Mengajak pergi entah kemana. Kita kehilangan banyak sekali esensi pendidikan, tujuan awalnya adalah mendapat ilmu pengetahuan untuk menyusur sejumlah misteri. Jadi buram.

Tanda tanya besar seperti "Kenapa kita diciptakan?", "Siapa Tuhan?", "Untuk apa ada pencipataan?", dan pertanyaan mendasar lainnya, mulai dihindari. Bahkan, perbincangan tentang Tuhan-pun di sekolah tidak dibicarakan. Ya, karena Tuhan dianggap tidak bisa diverifikasi, dan tidak patut masuk.

Manusia lantas diukur dengan parameter hukum semata bukan lagi moral yang dibicarakan, padahal hukum adalah pagar terendah kehidupan. 

Saya sering bertanya kepada orang-orang: "Kamu berhenti di lampu merah, karena takut ditilang atau karena memperhatikan keselamatan orang lain?" Rata-rata jawabnya, karena takut ditilang, ya, karena hidup dianggap sebagai upaya "memperluas diri sendiri." Bukankah mengerikan? Hukum memberi pagar pada wilayah-wilayah terendah, dimana kejahatan manusia bisa dilakukan. Apakah tanda adanya pasal-pasal kamu tetap membunuh? Tentu semestinya tidak. Moral yang "built in" semakin dijauhkan dari obrolan tentang kenyataan. Dia berada duduk di sana, jauh.

Tak kurang-kurang ajaran agama memberikan petuah yang padat. Tapi mengapa kegelisahan juga makin memuncak? Menurut saya, tak lain karena tersingkirnya perspektif spiritual dari aktifitas kehidupan. agama dibangun sebagai ruang materi. Konsep "reward and punishment" yang ditulis pada kitab suci digambarkan benar-benar secara material. Unsur spiritualnya diganyang total.

Pahala adalah ketika kamu melakukan kebaikan lantas Tuhan membalasnya dengan kekayaan, uang, mobil dan bisnis berlaba. Dipelintir. Dosa secara stereotip disimbolkan dengan kemiskinan, kebangkrutan dan susahnya nafkah. Ini memprihatinkan sekali.

Maka konsep kesuksesan saat ini, tidak lebih dari, bagaimana mengumpulkan hal-hal yang seakan-akan spiritual menjadi material. Sukses adalah kaya, banyak uang, menginjak orang tak mengapa. Itupun masih bawa-bawa Tuhan, yang penting masuk surga. Duh...

Ini kecenderungan apa? Bukankah hal tersebut adalah "cara manusia menghancurkan dirinya sendiri?" Ditambah keblinger lagi, ketika nasehat menjadi industri. Bagaimana tidak lucu, masak menasehati orang harus bertarif? Sedekah dimatematikan. Jika menyumbang orang sekian rupiah maka mendapat imbalan sekian rupiah. Ini melayani diri sendiri atas nama Tuhan. Sementara pertanyaan mendasar, yang juga masih ditelusuri ilmu pengetahuan, masih belum terjawab. Saat itu kita makin jauh pula dengan esensi tujuan.

Suatu hari, seorang teman bertanya "Tuhan itu agamanya apa?", lho, saya ketawa ngakak mendengar ini. Lantas saya bilang "Ah, kamu pertanyaannya kurang keren, coba yang lebih "berani" lagi, misal "Kenapa penciptaan itu harus ada? Apa tujuannya?"" Beberapa memang suka "sok berani" bikin pertanyaan, tapi tidak penting-penting amat. Coba yang lebih mendasar lagi supaya lebih makjleb.

Saya bayangkan, jikalau kita semua tidak menghilangkan "semangat budaya luhur" dalam beberapa hal saja, mungkin keblingeran nilai tidak separah ini. Agama-agama yang masuk ke kepulauan ini mengajarkan nilai yang tidak jauh dari pemahaman spiritual lokal. Hanya beberapa perspektif dibenahi.

Yang islam berlomba-lomba menjadi arab. Melupakan bahwa islam itu kumpulan nilai yang dipadu dengan cara berpikir "nusantara". Padahal, darah-darah pelakunya adalah aliran yang dipenuhi oleh bibit spiritualitas dari sini. Bukan arab atau eropa. Bagaimana bisa klop?

Bacalah simbol-simbol budaya, bacalah tanda-tanda dalam kitab suci, gunakanlah akal. Bukan kemarahan, lihat betapa kita telah jauh dari tujuan.

Semoga, kita semua kembali ke pertanyaan mendasar meletakkan diri sebagai mana mestinya. Mendapat ukuran-ukuran nilai dari nurani. "Kenapa penciptaan itu ada?", "Dari mana kita berasal?", "Kemana kita menuju?" Itu pertanyaan intinya.

Hidup adalah melayani kepada yang dicintai. Bukan melayani diri sendiri. Demikian. Semoga ocehan ini tidak ditanggapi dengan kemarahan. Tapi perenungan.

Hidup adalah masalah penempatan. Mana yang utama mana yang sarana. Mana niat mana tujuan.



Monday, April 16, 2012

sihir

sihir


1/
dan risaumu menjadi mantra
menggumamkan komatkamit ajaib
berharap menjadi cinta

2/
tak sesederhana sesulap
dengan tongkat dan bunyi abrakadabra
lalu keluarlah rindu dari balik sipumu

3/
rindumu semacam teluh
mengirimkan pekasih
melalui rincik angin

4/
hanya doa yang memanjat lapisan langit
hanya untuk menanam benih pada sebuah jejantung
lalu apa daya gunaguna?

5/
adalah gaib yang mewujud
sebentuk bintang melenyap
tertelan rasi bintang salah musim

6/
tak mungkin mimpi menjadi tera
mengirim jejampi pada langit
berharap keajaiban menghujan

SANUBARI JAKARTA : Kompilasi Potret Kehidupan Yang Termarjinalkan

Sanubari Jakarta


Quotes:
Reuben: Kamu tuh pertama kali suka sama siapa?
Mia: Sama.. Monyet!

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Kresna Duta Foundation, Ardhanary Institute, Ford Foundation dimana screeningnya diadakan di PPHUI pada tanggal 7 April 2012.

Cast:
Gesata Stella sebagai Theresa/Bianca
Agastya Kandou sebagai Aga
Reva Marchellin
Timothy Hendry Munthe
Pevita Pearce
Miea Kusuma
Hernaz Patria
Filippo
Tata Trianti
Herfiza Novianti
Permatasari Harahap
Albert Halim
Raditya
Gia Partawinata sebagai Acel
Alviano
Haffez Ali sebagai Drajat
Dinda Kanyadewi
Dimas Hary CSP
Belvany
Ajeng Sardi
Kiki Machina
Raina
Ence Bagus
Reuben Elishama Hadju
Irfan Guchi
Arswendi Nasution
Jefan
Intan
Deddy Corbuzier
Illfie
Rangga Djoned
Ruth Pakpahan
Bemby Putuanda

W For Words:
Isu LGBT alias Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender memang tidak dapat dihindari dan akan selalu mengiringi kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia manapun juga. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut meskipun pemahaman setiap orang jelas berbeda-beda. Lola Amaria yang menggandeng beberapa lembaga dan institusi berinisiatif merangkul filmmaker-filmmaker anyar untuk terlibat dalam proyek omnibus yang keseluruhan ceritanya ditulis oleh Laila Nurazizah ini.

Film dengan banyak cerita di dalamnya, dikenal dengan istilah antologi/omnibus, marak tahun ini di bursa perfilman Indonesia. Setidaknya sampai saat ini ada Dilema dan HI5TERIA sudah tersaji di bioskop.
Lalu kini ada Sanubari Jakarta, sebuah film yang lebih banyak lagi soal pemaparan cerita. Ada 10 cerita dan 10 sutradara. Benang merahnya adalah semua cerita bertemakan bagaimana segelintir orang berusaha melawan dogma dalam menemukan jati diri mereka.

Kelebihan dari film berkonsep omnibus/antologi adalah penonton bisa mendapatkan berbagai "varian" dalam satu "racikan" tema. Jika Anda tidak suka dengan satu segmen, Anda bisa menanti segmen lain yang mungkin memenuhi selera sinema Anda.

Dan tantangan terbesar dari banyaknya film pendek dalam satu film antologi adalah bagaimana sineas memilih penempatan urutan masing-masing film agar kemudian bisa "dijahit" menjadi satu keutuhan film yang bisa dinikmati. Harus diakui masing-masing sutradara tentu akan menyajikan cita rasa berbeda di setiap segmen. Dan bila tidak jeli dalam memasang urutan dan membuat bridge yang pas di sela segmen, ketimpangan akan terasa.

Sanubari Jakarta adalah contoh film berkonsep antologi yang bisa menaklukan tantangan itu.

Sanubari Jakarta dibuka dengan kilau warna-warni gemerlap lampu kendaraan di suasana malam kota Jakarta. Dan film ini memang berwarna karena menyajikan 10 cerita yaitu, 1/2 , Malam Ini Aku Cantik, Lumba-Lumba, Terhubung, Kentang, Menunggu Warna, Pembalut, Topeng Srikandi, Untuk A dan Kotak Coklat.

Kebanyakan dari mereka menyajikan suatu cerita tentang mengenai pilihan hidup berbalut tema tentang orang-orang yang selama ini termajinalkan dan dipandang sebagai "noda" dalam masyarakat.

Ada 9 tema tentang pilihan hidup orang yang memilih orientasi seksual sebagai gay, lesbian, biseksual dan transgender di sini. Terselip satu segmen yang lebih merupakan kisah mengenai emansipasi wanita dalam Topeng Srikandi, yaitu mengenai seorang wanita yang berusaha membuktikan kesetaraan setelah dipecat dari pekerjaannya.

Kesepuluh segmen dalam Sanubari Jakarta disatukan dalam mood yang hampir sama. Pallet warna yang sendu dan lembut, seolah memposisikan film ini mengenai kisah tentang sekelompok orang yang memilih warna kehidupan yang tidak mencolok. Ya, orang-orang dalam film ini memilih jalan hidup dengan "warna" yang tidak lazim dengan orang-orang kebanyakan.

Di tengah mood yang hampir senada, terselip beberapa segmen dengan eksekusi yang beda dalam pemaparan hidup karakter-karakternya.

Segmen pembuka yang berjudul 1/2 misalnya. Segmen ini menjadi menarik karena sutradara muda potensial, Tika Pramesti, menceritakan kegamangan orientasi seksual seorang pria bernama Biyan melalui metafora kacamata 3 dimensi. Jika Anda mengamati kacamata 3 dimensi tentu akan sadar bahwa kacamata ini punya warna biru dan merah. Tika secara cerdas memakai dua warna ini untuk menggambarkan kegelisahan Biyan akan pilihan orientasi seksualnya. 1/2 disajikan dalam warna-warna pastel romantis dan sinematografi cantik. Pilihan Tika menggunakan warna tersebut memaparkan ada kerinduan dan keinginan karakter Biyan untuk menggapai angan romantis di tengah kegamangannya.


"1/2" - Sanubari Jakarta

Pallet warna serupa juga dipakai dalam segmen Lumba-Lumba dan Kotak Coklat. Dalam Lumba-Lumba, sutradara Lola Amaria memakai metafora mamalia laut cerdas itu untuk menegaskan pilihan orientasi seksual seorang karakter yang berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak bernama Adinda (Dinda Kanya Dewi).

Hal ini ditegaskan oleh sebuah artikel yang dibuka lewat Ipad mengenai lumba-lumba yang juga memiliki kecenderungan homoseksualitas dalam salah satu shot. Semakin ditegaskan oleh ujaran karakter Adinda, "Lumba-lumba itu sebenarnya hanyalah simbol untuk menjelaskan apa yang tidak bisa aku jelaskan,". Karakter Adinda juga dipaparkan mengalami masa romantis dengan karakter Anggia (Ruth Pakpahan), seorang ibu muda berpenampilan tomboy, lewat gesture dan adegan slow motion saat mereka berada di sebuah toko swalayan.

Kotak Coklat juga memaparkan sebuah kisah romantis antara seorang transgender yang berprofesi sebagai desainer bernama Miea (Miea Kusuma) dan pria bernama Reuben (Reuben Elishama Hadju). Segmen ini secara jelas menjadi film yang paling "mahal" dan cantik secara eksekusi. Hal ini bisa dilihat dari seting, warna dan juga pemain-pemain yang berupa elok. Pengalaman sutradara Sim F sebagai sutradara iklan, membuat segmen ini bermain dalam ruang bernuansa film-film romantis Thailand. Kotak Coklat memaparkan sebuah cerita yang terjadi pada kalangan atas.

Eksekusi berbeda ditampilkan dalam segmen Menunggu Warna, Pembalut dan Kentang. 3 segmen ini mendapat sentuhan komedi satire.

Menunggu Warna menjadi segmen yang paling "minimalis" dalam soal warna, di antara semua segmen yang ada di Sanubari Jakarta. Sutradara Adriyanto Dewo (juga terlibat dalam salah satu segmen omnibus HI5TERIA-red) memilih memaparkan kisahnya dalam nuansa hitam-putih dan tanpa dialog antara dua karakter utama, Adam (Albert Halim) dan Satria (Rangga Djoned).


Menunggu Warna - Sanubari Jakarta

Adam dan Satria adalah dua orang pekerja pabrik di sebuah kawasan industri di pinggiran Jakarta. Momentum emosional mereka berawal dan berakhir di sebuah lampu lalu lintas saat Satria yang mengendarai motornya menunggu lampu hijau, sementara karakter Adam berdiri di seberangnya. Pilihan menampilkan segmen ini dalam hitam putih menggambarkan konsep impian pasangan gay yang langgeng seperti warna hitam putih yang sering dideskripsikan sebagai warna abadi. Konsep hitam putih juga seolah menjadi jawaban akan pilihan judul, bahwa dua pasangan ini juga menunggu warna yang akan menghiasi kehidupan romantis mereka.

Segmen Pembalut juga berkonsep minimalis. Hanya dalam sebuah ruang hotel kecil dan memakai satu orang pemain, Gesata Stella. Aktris berbakat ini memerankan multi dimensional karakter sebagai Theresia, Bianca, Leona dan cleaning service hotel. Sutradara Billy Christian secara efektif melakukan eksplorasi karakter hanya melalui Gesata dan seorang aktris body double. Bercerita tentang pasangan lesbian yang mempertanyakan pilihan hidup untuk menikah dengan pria normal atau terus bertahan dengan pasangan lesbian mereka.

Billy Christian menggunakan pilihan seorang aktris untuk memainkan banyak karakter menegaskan pandangannya bahwa lesbian hanyalah seorang perempuan biasa. Mereka tetap menghadapi persoalan yang sama, yaitu persoalan tentang siklus biologis dan juga psikis. Pembalut menjadi simbol bahwa setiap wanita selalu membutuhkan benda ini dalam keseharian mereka. Sebuah simbol bahwa wanita (entah hetero atau homoseksual) sebenarnya sama.


Pembalut - Sanubari Jakarta

Kentang menjadi segmen yang paling komedikal dalam Sanubari Jakarta. Debut penyutradaraan editor film Aline Jusria ini menyajikan kisah tentang dua orang pasangan gay Marcel (Gia Partawinata) dan Drajat (Haffes Ali) yang sedang berusaha melepaskan hasrat rindu setelah lama tidak bersua. Namun saat berusaha bermesraan di kamar kost Drajat yang sempit, pasangan ini mendapat berbagai halangan sehingga kemesraan mereka terganggu akibat perdebatan-perdebatan yang dipicu oleh halangan-halangan itu.

Kentang menjadi debut yang sukses bagi Aline setelah tahun lalu meraih Citra untuk kategori penyunting gambar terbaik di Catatan Harian Si Boy. Segmen ini tetap disajikan dalam warna yang cenderung gelap, tapi dibalut dalam komedi satir tentang dilema Drajat, seorang gay yang belum terbuka soal orientasi seksualnya kepada publik. Kentang merupakan titik temu persinggungan pemikiran Marcel dan Drajat setelah 2 tahun membina hubungan. Sementara pasangannya, Marcel, sudah terbuka tentang orientasi seksualnya.

Segmen ini berhasil mengubah tensi ketegangan yang terjadi antara Marcel-Drajat menjadi komedi yang mengundang gelak tawa. Situasi canggung, celotehan Marcel (karakter gay yang digambarkan sebagai sosok yang lebih kemayu) serta berbagai distraksi menjadi kocak di tangan Aline. Ada berbagai dialog vulgar terlontar dari mulut karakter Marcel yang memang cablak, tanpa tedeng aling-aling.


Kentang - Sanubari Jakarta


Ada beberapa kecenderungan yang bisa dicermati dalam Sanubari Jakarta. Salah satunya adalah segmen yang memaparkan tentang kisah romansa lesbian dan transgender dipaparkan dalam warna dan mood yang sendu.

Seperti halnya Terhubung, Malam Ini Aku Cantik, Untuk A dan Kotak Coklat, serta Lumba-Lumba. Penulis tidak bisa mengetahui secara pasti alasan dibalik membuat kisah transgender dan lesbian di buat dalam mood seperti itu. Tapi bila menilik dari ke empat segmen di Sanubari Jakarta, karakter transgender dan lesbian memang mendapat sering mendapat tekanan dalam masyarakat. Hal ini diawali dari wujud mereka (sebelum atau sesudah untuk transgender) sebagai perempuan. Meski sejak tahun 1975 telah diadakan Konferensi Wanita Sedunia pertama di Mexico City, perempuan juga masih mendapat ruang apresiasi lebih terpinggirkan dalam berkarya. Atau mungkin perempuan sering dideskripsikan sebagai mahluk anggun yang melankolis.

Berbeda dengan segmen yang memaparkan kehidupan gay seperti, 1/2, Kentang atau Menunggu Warna yang terasa lebih "ringan" secara mood.

Nilai lebih dari film kompilasi berbagai kisah (omnibus, antologi atau apapun istilahnya) seperti Sanubari Jakarta adalah kita bisa menemukan bakat-bakat baru yang segar.

Dinda Kanya Dewi, misalnya. Aktris yang lekat sebagai karakter antagonis di sebuah sinetron ini, membuktikan bakatnya di penyutradaraan debutnya. Malam Ini Aku Cantik adalah contoh konkrit, betapa Dinda berhasil menyajikan suatu cerita tentang seorang waria bernama Agus (Dimas Hary CSP) yang menjajakan diri di pinggir jalan demi wujud cinta terhadap keluarga.


Malam Ini Aku Cantik - Sanubari Jakarta

Agus adalah seorang pria yang memiliki alter ego. Saat mengenakan wig dan busana wanita, ia menjadi sosok cantik. Lewat alter ego itulah Agus mencari nafkah yang kemudian ditabung. Agus tidak mencari cinta ataupun jodoh, layaknya sesama rekan warianya yang maih muda dan enerjik. Di usianya yang beranjak senja, Agus sudah mencapai fase di mana ia telah menemukan cinta sejatinya untuk keluarga. Dimas Harry berhasil menghadirkan sosok Agus yang lembut, pasrah dan beraut muka bijaksana, sekaligus elegan. Dengan cepat penonton akan menangkap bahwa Agus adalah sosok waria "istimewa". Seperti salah seorang pelanggan di segmen ini yang lebih memilih Agus ketimbang rekan-rekannya yang masih segar.

Sosok transgender yang sudah mencapai fase "kematangan" juga digambarkan dalam segmen Untuk A. Sutradara Fira Sofiana secara efektif memanfaatkan sebuah ruang untuk menuturkan sebuah cerita panjang tentang seorang perempuan yang memutuskan berubah menjadi lelaki.

Kisah disampaikan lewat narasi dan akting luar biasa aktor teater Arswendy Nasution sebagai Ari. Lewat narasi cerdas, penonton akan merasakan rangkuman emosi dan sejarah Ari saat memutuskan menjadi lelaki. Arswendy melakukan gesture sangat efektif, tanpa dia perlu mendapat sentuhan tata rias. Kepedihan, kesedihan dan juga kebahagiaan Ari lewat durasi hanya 10 menit.

Fira juga mampu menggambarkan sosok Ari sebagai karakter yang teguh dan setia memegang prinsip, serta keputusannya. Bukan hanya lewat akting brilian Arswendy, namun juga lewat pemilihan properti seperti mesin ketik tua dan telepon seluler sederhana. Karakter Ari bisa saja memakai laptop atau smartphone, tapi Ari tidak melakukannya.


Untuk A - Sanubari Jakarta

Sanubari Jakarta juga memberi kesempatan kepada penulis naskah, Laila Nurazizah, untuk menyumbangkan pemikiran tajamnya. Mahasiswi jurusan kriminologi Universitas Indonesia ini mampu membuat naskah yang cerdas, efektif dan juga relevan. Laila memang bekerjasama dengan para sutradara Sanubari Jakarta untuk membuat sebuah rangka cerita. Tapi tetap saja bakat Laila memberi sentuhan luar biasa kepada masing-masing segmen, sehingga memiliki ruh. Wajar bila kita akan banyak menyaksikan nama Laila sebagai penulis naskah film ke depannya. Alasannya sederhana, karena ia berbakat.

Film Sanubari Jakarta dibuat dengan semangat indie. Masing-masing sutradara menentukan bujet produksi dari kantung masing-masing. Logis bila kemudian didapati ketimpangan secara artistik dan filmis. Namun, setiap segmen di film ini bisa "dijahit" dengan rapi. Penempatan masing-masing segmen juga tepat, meski 3 segmen terakhir terasa lebih lamban dibanding 7 segmen awal.

Setiap segmen juga dihubungkan lewat transisi yang pas. Perpindahan setiap segmen dijembatani dengan bridge yang mengambil pemandangan kota Jakarta. Entah itu saat malam ataupun siang. Perpindahan berlangsung mulus dan membuat penonton tidak merasa "loncat" dari satu segmen ke segmen lain.


Lumba-lumba - Sanubari Jakarta


Ada beberapa kesamaan dalam setiap segmen yang juga bisa menjadi benang merah dalam Sanubari Jakarta.

Pertama adanya shot yang menampilkan album atau figura. Dalam figura atau album foto di film ini, dipajang foto keluarga. Semacam metafora bahwa setiap karakter dalam film ini mencoba keluar dari "figura" dogma yang selama ini membatasi ruang gerak mereka. Mereka berada dalam "figura" tatanan hidup yang dipandang normal, agar bisa diterima masyarakat dan mereka tidak menjadi diri sendiri. Hanya menjadi "pajangan" manis penghias meja.

Kedua, dalam beberapa segmen seperti Malam Ini Aku Cantik dan Terhubung, disebutkan kalimat klise, "jodoh di tangan Tuhan,". Ini menjelaskan bahwa "jodoh" masing-masing karakter dan itu adalah di tangan Tuhan. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan apakah pasangan mereka saat ini adalah jodoh? Apakah bila pasangan mereka dari kaum sejenis apakah itu tidak bisa disebut jodoh?

Akan tetapi ada juga yang perlu dicermati dalam Sanubari Jakarta. Film ini memaparkan transgender atau transeksual. Namun, ketika mereka sudah menjadi sosok yang diinginkan. Tidak terdapat kisah yang menceritakan bagaimana pergolakan seorang dengan krisis identital seksual menghadapi kesulitan saat akan melakukan operasi pergantian kelamin. Dalam beberapa kasus, fase inilah yang terberat yang dihadapi oleh seorang transgender. Ketika mereka sudah melakukan operasi, setidaknya mereka sudah menetapkan sebuah pilihan. Hal ini sayangnya terlewatkan dalam Sanubari Jakarta.

Hampir semua segmen di film ini juga memaparkan karakter dengan kemampuan ekonomi menengah atas. Sebuah level sosial di mana urusan makanan pokok bukanlah menjadi pemikiran utama. Dalam level ini toleransi terhadap apapun menjadi lebih terbuka, friksi antar pandangan memang lebih mudah terjadi di kalangan ekonomi bawah. Hal ini dikarenakan taraf pendidikan di level menengah ke atas lebih baik. Sesuatu yang digambarkan dalam segmen Malam Ini Aku Cantik, Menunggu Warna atau Kentang.


Kotak Coklat - Sanubari Jakarta


Menurut salah satu penelitian, kaum homoseksual memang menganggap kelas dan status sosial sangat penting bagi mereka (Hapsari, Trisika Putri (2007) - Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian produk pada komunitas gay di Jakarta. Perpustakaan Universitas Indonesia UI - Tesis S2).

Pemikiran tersebut timbul akibat kebutuhan untuk bersosialisasi dan merasa nyaman dengan komunitasnya sendiri dengan tidak merasa terdiskriminasi karena perbedaan orientasi seksualnya (Lugosi, Peter (2007) - Consumer participation in commercial hospitality. School of Services Management, Bournemouth University, Poole. UK)

Dengan disempilkannya cerita dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, membuat Sanubari Jakarta menyajikan perspektif beragam dalam memandang kelompok masyarakat yang termarjinalkan ini.

Penulis memandang Sanubari Jakarta adalah sebagai film yang dieksekusi dengan baik dan mampu menghibur. Terlepas dari tema yang bagi sebagian orang belum mampu menerimanya.

Penulis menyaksikan film bersama para penonton lain, yang mengeluarkan ekspresi geli dan seruan "amit-amit", saat beberapa adegan menjurus pada hal yang vulgar.

Sebuah ekspresi spontan yang bisa diartikan bahwa penolakan itu tetap ada meskipun mungkin kecil. Namun, tidak ada yang keluar dari ruang putar. Hal ini menandakan bahwa sebagai sebuah tontonan, Sanubari Jakarta membuat penonton betah untuk menantikan segmen selanjutnya. Bahkan mereka tertawa saat beberapa adegan lucu hadir.

Dan mari kita menganggap Sanubari Jakarta sebagai sebuah produk budaya yang mencoba menyajikan potret bagian kecil masyarakat kita. Sebagai suatu bentuk kegiatan berkesenian sekelompok orang yang mewujudkannya dalam sebuah film yang utuh dan menghibur.

Lupakan arogansi dan pretensi bahwa fakta dalam film ini tidak pernah terjadi, bahkan harus dibasmi. Di tengah lesunya apresiasi penikmat film Indonesia terhadap produk sendiri, anggap saja Sanubari Jakarta sebagai tempat untuk melakukan piknik visual untuk menghibur kepenatan sanubari.

Seperti yang diungkapkan dalam segmen 1/2, kita harus memandang film ini dalam kacamata 3 dimensi yang utuh. Kita tidak bisa memandang hanya dari satu frame warna. Kita harus menggunakan dua frame dalam "kacamata" berpikir kita, sehingga visualisasi dalam Sanubari Jakarta terbentuk nyata dan menyeluruh dalam pemahaman. Tidak lantas menjadi pemahaman parsial yang banal.

Dan film ini memang menghibur serta memaparkan keragaman emosi, layaknya kompilasi potret kehidupan yang termarjinalkan. Sesederhana itu saja menilai film ini.

Saya acungkan dua jempol bagi omnibus satu ini yang berani mengangkat tema sensitif. Sanubari Jakarta akan mengetuk pintu hati anda semua sewaktu melintasi babak demi babak kehidupan orang-orang yang dianggap “abnormal” oleh lingkungannya. Sebuah kenyataan yang tersimpan rapat tanpa bisa tersembunyikan di setiap sudut kota, berusaha agar tidak dihakimi norma-norma yang berlaku. Honest, witty and colorful presentation with every themes in it. Keep your mind wide open to understand its own message!

Durasi:
100 menit

Overall:
7.5 out of 10

Sunday, April 15, 2012

WRATH OF THE TITANS : Slightly Better epic Demigods' Letdown

 


Quotes:
Zeus: You will learn someday that being half human, makes you stronger than a god.

Nice-to-know:
Gemma Arterton sedianya kembali dalam produksi film ini tapi mengalami konflik jadwal dengan Hansel and Gretel: Witch Hunters (2012).

Cast:
Sam Worthington sebagai Perseus
Liam Neeson sebagai Zeus
Ralph Fiennes sebagai Hades
Édgar Ramírez sebagai Ares
Toby Kebbell sebagai Agenor
Rosamund Pike sebagai Andromeda
Bill Nighy sebagai Hephaestus
Danny Huston sebagai Poseidon

Director:
Merupakan feature film kelima bagi Jonathan Liebesman yang terakhir menggarap Battle Los Angeles (2011).

W for Words:
Pada Clash of the Titans (2010), Perseus berhasil mengalahkan Medusa dan Kraken sambil menyelamatkan Andromeda dan juga kota Argos dari kehancuran. Film tersebut sukses mengumpulkan nyaris 500 juta dollar lewat peredaran internasionalnya saja. Untuk itulah Warner Bros bermata silau untuk melanjutkan petualangan tokoh yang masih diperankan oleh Sam Worthington itu ke dalam installment baru, tentunya dengan konflik yang berbeda dan musuh-musuh yang jauh lebih tangguh.
Satu dekade setelah peristiwa yang mengangkat namanya, Perseus yang merupakan keturunan dari Zeus berupaya menjalani hidup normal sebagai nelayan bersama putranya Helius di sebuah desa yang tenang. Sementara itu, perebutan kekuasaan terjadi di antara para dewa dan the Titans itu sendiri. Pemimpin Titans yaitu Kronos bekerjasama dengan Hades dan Ares mengancam kedudukan Zeus dengan pasukan mautnya. Kini Perseus harus sekali lagi mengerahkan segenap kemampuannya untuk melindungi apa yang ia punya meski harus membahayakan nyawanya.

Kali ini anda akan menjadi saksi visualisasi monster-monster yang dihidupkan oleh CGI dengan senyata mungkin mulai dari chimera, trio Cyclopes, raksasa berkepala dua Makhai hingga sang Kronos itu. Kesemuanya berguna dalam menciptakan teror yang cukup mencengangkan dan berdarah untuk sebuah film remaja. Sutradara Liebesman yang banyak menggunakan shaky cam style di paruh pertama terutama untuk pertarungan Perseus melawan raksasa mampu menghadirkan serangkaian adegan aksi ala blockbuster yang lebih nyaman untuk disimak di paruh keduanya.
Saya tidak melihat ada perbedaan akting Worthington disini. Sorot matanya masih terasa kosong dan intonasi suaranya datar saja padahal muatan emosinya jauh lebih berisi, lihat saja nasib ayahnya Zeus dan putra remajanya Helius yang berkali-kali terancam. Pike yang menggantikan Davalos sebagai Andromeda memang terlihat jauh lebih dewasa walau cenderung lebih feminin yang mengurangi kesan tangguhnya. Dua aktor senior, Neeson dan Fiennes seperti biasa tidak mengecewakan samasekali sebagai dua saudara yang saling berebut kekuasaan menjelang akhir dunia, Zeus dan Hades.

Wrath of the Titans untungnya masih menyisakan beberapa adegan yang memorable, salah satunya adalah sekuens labirin di penghujung film yang terasa mencekam. Selebihnya tidak ada perbaikan yang signifikan dari prekuelnya selain action yang lebih intens dan visual yang lebih menjual termasuk konversi 3D yang lebih efektif di setengah jam terakhir durasinya. Kekurangan dari plot cerita dan pengembangan karakternya yang miskin tidak membantu para penggemar kisah ini untuk memberikan opini yang positif. See it only if you want to see some fantasy action in the fantastic spare time but for me, the last few demigods movies have been such a letdown including this one.

Durasi:
99 menit

U.S. Box Office:
$34,200,000 in opening week of Apr 2012

Overall:
7 out of 10

Friday, April 6, 2012

dear purnama

catatan purnama


pada lembaran purnama yang mulai terkikis
ada catatan di antara cekungan semu pipinya
"adalah kamu,
sisa rindu yang meresap dalam tanah
yang kucari di setiap sela nada
dari nyanyian gerimis di terik siang"

panjang alirmu memungut kenangan
dari gunung hingga letih perjalananmu ke samudra
bersama sabar terombangambing di atas riaknya
dibuai angin pujaan hujan

nanti setelah menjadi mega yang berarak
tak ada lagi yang kupunya selain harap
"adalah kamu
perempuan dalam peluk erat waktuku
payungimu dengan teduhku"

...

Tuesday, April 3, 2012

THE HUNGER GAMES : hungry young souls against autocracy



Quotes:
Haymitch Abernathy: This is the time to show them everything. Make sure they remember you.

Nice-to-know:
Pada tanggal 22 Februari, empat minggu sebelum rilis, Lionsgate mulai menjualtiket di muka. Tidak hanya berhasil memecahkan rekor per hari yang dicetak olehThe Twilight Saga: Eclipse sebelumnya tetapi mengumpulkan 83% dari total penjualanhari tersebut.

Cast:
Jennifer Lawrence sebagai Katniss Everdeen
Stanley Tucci sebagai Caesar Flickerman
Josh Hutcherson sebagai Peeta Mellark
Wes Bentley sebagai Seneca Crane
Willow Shields sebagai Primrose Everdeen
Liam Hemsworth sebagai Gale Hawthorne
Elizabeth Banks sebagai Effie Trinket


Director:
Merupakan film ketiga bagi Gary Ross yang pertama kali diawali oleh Pleasantville (1998).


W for Words:
Selepas 7 seri Harry Potter berakhir, wajar jika banyak pecinta film di seluruh dunia menantikan kehadiran franchise baru yang sedianya dapat selalu ditunggu kelanjutannya. Harapan itu ada pada novel trilogy milik Suzzane Collins yang terdiri dari The Hunger Games, Catching Fire dan Mockingjay. Trailer seri pertama yang sudah wara-wiri sejak akhir tahun lalu ini nyatanya sukses memancing perhatian publik dimana skripnya digarap sendiri oleh Collins bersama sutradara Gary Ross yang juga dibantu oleh Billy Ray ini.

Capitol memilih sepasang remaja laki-laki dan perempuan dari 12 distrik untuk berkompetisi dalam ajang The Hunger Games ke-74. Mengajukan diri sebagai pengganti adiknya Primrose yang terpilih, Katniss Everdeen harus meninggalkan sahabatnya Gale untuk bergabung dengan Peeta Mellark. Mentor mereka adalah Cinna dan Haymitch yang mengajarkan trik khusus agar mendapat simpati dari penonton sehingga mau memberikan sponsor yang mungkin saja mempengaruhi hasil akhir permainan yang tinggal menyisakan satu orang saja tersebut.

 
Premisnya mungkin akan lumayan brutal dalam bayangan anda. Namun sutradara Rossdengan cerdas memanipulasi berbagai aksi di antara para kontenstan untuk menyelamatkan rating Remaja yang disematkan pada film ini. Adegan kekerasan memang terlihat di beberapa bagian tapi tidak eksplisit menampilkan darah. Sebaliknya sisi kemanusiaan turut ditekankan, dimana remaja-remaja ini seakan menjadi tumbal para Pemerintah sehingga mengundang simpati siapapun yang melihatnya.

Jennifer Lawrence pernah dinominasikan Oscar kategori Aktris Terbaik bukan tanpa alasan. Ia mewakili kekuatan, ketakutan, kemauan hingga kelembutan hati Katniss dengan penjiwaan yang baik. Josh Hutcherson dan Liam Hemsworth juga menjadi padanan yang seimbang bagi Lawrence meskipun nama tersebut belakangan tidak terlalu dominan disini. Siapa yang tahu jika cinta segitiga ini akan bersemi pada sekuelnya di kemudian hari. Another Twilight wannabe perhaps?

 
Aktor-aktris pendukung yang sudah punya nama juga menuntaskan tugasnya dengan maksimal, sebut saja Stanley Tucci yang menggelikan sebagai presenter televisi Caesar layaknya The Truman Show, Donald Sutherland yang mengerikan sebagai Presiden Snow, Woody Harrelson yang eksentrik sebagai mentor pemabuk Haymitch. Jangan lupakan juga si menyebalkan Wes Bentley sebagai Seneca dan Elizabeth Banks yang tampil bak Lady Gaga sebagai Effie dengan make-up dan rambut warna-warninya.

Bagi yang sudah membaca bukunya niscaya akan menyukai perubahan minor dari Ross yang berhasil mempertajam narasi, apalagi suguhan musik T-Bone Burnett dan James Newton Howard yang semakin mengangkat semangat permainan itu sendiri. Sejujurnya saya belum menemukan sesuatu yang terlalu istimewa dari seri pertamanya ini walau mengakui adanya potensi besar di dalamnya untuk pengembangan yang lebih dalam di masa mendatang. Konsep “perburuan” yang terlalu berlarut-larut dengan “aturan” membunuh yang tidak biasa memang tak jarang membuat penonton menguap ataupun mengernyitkan dahi. Beruntung jajaran cast dan eksekusi ciamik Ross masih menjadikan The Hunger Games tontonan yang berkelas dan memiliki pesan moral di dalamnya. Yes, it’s us versus the government, hungry for justiceagainst hungry for autocracy!

Durasi:
142 menit

U.S. Box Office:.
$50,451,681 till Feb 2012

Overall:
7.5 out of 10

MIDNIGHT IN PARIS : keindahan magis perjalanan waktu penulis


 
Quotes:
Inez: You're in love with a fantasy.
Gil: I'm in love with you.
 
Cast:
Owen Wilson sebagai Gil Pender
Rachel McAdams sebagai Inez
Kurt Fuller sebagai John
Mimi Kennedy sebagai Helen
Michael Sheen sebagai Paul
Nina Arianda sebagai Carol

Director:
Woody Allen pernah menggarap Everyone Says I Love You di tahun 1996 yang cukup mengesankan itu.
 
 
Nice-to-know:
Woody Allen sempat merencanakan produksi film ini di Paris pada tahun 2006 tetapi dibatalkan karena biayanya terlalu mahal.
 

Storyline:
Sambil mempersiapkan pernikahan, Gil dan Inez berlibur ke Paris menemani orangtua Inez yang melakukan perjalanan bisnis. Di sana Inez berjumpa dengan sahabatnya Carol dan Paul untuk bergabung dalam tour singkat. Gil yang tengah menyelesaikan buku terbarunya memilih menelusuri jalanan malam demi mendapatkan inspirasi. Sekonyong-konyong sebuah kereta kuda menjemputnya, Gil lantas bertemu tokoh-tokoh pujaannya yang hidup di masa lalu. Sebuah proses yang akan mempengaruhi keputusan masa depannya dalam waktu yang amat singkat.
 
W for Words:
Tak henti-hentinya kota Paris menjadi obyek eksploitasi sineas Eropa maupun Amerika. Umumnya karena dipandang indah dan romantis, genre drama selalu menjadi pilihan utamanya. Tanpa terkecuali nama sekaliber Woody Allen yang kali ini menaburkan bumbu komedi dalam takaran yang minim sehingga masih dapat dikategorikan drama elegan yang membahas perjalanan waktu dari masa lalu ke masa depan yang mungkin mengingatkan anda pada The Purple Rose of Cairo (1985).

Hotel bintang lima, Le Bristol dan sederetan lokasi ternama Paris menjadi setting yang amat menjual. Apalagi lantunan jazzy score karya Stephane Wrembel berhasil membangun suasana magis yang menghangatkan. Langit senja, jalanan temaram, tata kota yang rapi, detil arsitektur bangunan yang memanjakan mata menjadi production value yang tak tergantikan. Sebagian besar memang mengesankan gaya hidup masyarakat kelas menengah ke atas.

 
Awalnya saya menganggap adanya nama Owen Wilson dalam jajaran cast merupakan keputusan yang salah. Aktor komedi slapstick yang melekat padanya ternyata memang pas untuk melakoni tokoh Gil yang berjiwa seniman. Seseorang yang bimbang menghadapi situasi dunia nyata yang seringkali bertentangan dengan mimpi-mimpinya. Ketika dihadapkan pada kesempatan paling berharga dalam hidupnya, Gil harus membuat pilihan yang sulit.

Melihat tokoh-tokoh legendaris macam Cole Porter, Zelda Fitzgerald, Ernest Hemingway. F. Scott Fitzgerald, Joséphine Baker,Gertrude Stein, Adriana hingga Pablo Picasso dihidupkan aktor-aktris kaliber akan memukau anda. Tidak lupa menyebut nama si cantik Marion Cotillard yang benar-benar pas untuk peran Adriana yang mempesona itu lengkap dengan aksen Perancis yang seksi. Bertolak belakang dengannya, Rachel McAdams tampak berusaha keras untuk mengangkat karakter Inez yang kurang tereksplorasi itu.

 
Midnight In Paris bagaikan menjual mimpi tengah malam yang penuh keajaiban dalam visualisasi yang mengagumkan. Sayangnya begitu kembali ke dunia nyata, bagian penutupnya yang melibatkan konflik inti antara Gil dan Inez menjadi sedikit kurang sempurna. Suguhan absurd bertema kompleks tetapi disajikan dengan sederhana jelas menjadikan summer movie yang satu ini tidak dapat dilewatkan begitu saja, stimulasi kuat yang akan membawa jiwa anda menelurusi setiap jengkal kota Paris sebelum menyiapkan raga anda untuk benar-benar travelling kesana!

Durasi:
94 menit

U.S. Box Office:
$56,407,283 till Jan 2012

Overall:
7.5 out of 10

THIS MEANS WAR : (not) a spy movie but bromance rivalries


Quotes:
Lauren: Oh, I think I'm going to hell.
Trish: Don't worry. If you're going to hell, I'll just come pick you up.

Nice-to-know:
Sam Worthington, Colin Farrell, Justin Timberlake dan Seth Rogen sempat dipertimbangkan untuk dua pemeran utama sebelum terpilih Chris Pine dan Tom Hardy pada akhirnya.

Cast:
Reese Witherspoon sebagai Lauren
Chris Pine sebagai FDR Foster
Tom Hardy sebagai Tuck
Til Schweiger sebagai Heinrich
Angela Bassett sebagai Collins
Chelsea Handler sebagai Trish

Director:
Merupakan film kelima bagi McG yang terakhir menggarap Terminator : Salvation (2009).

W for Words:
Premis cinta segitiga yang dibumbui dengan persaingan antar agen rahasia dalam menjalankan misi masing-masing. Hm, sepintas terdengar klise dan tidak terlalu istimewa. Namun melihat nama Tom Hardy dan Chris Pine yang tengah naik daun di Hollywood sebagai dua pentolannya sekaligus sang America’s sweetheart Reese Witherspoon pada jajaran castnya, bisa jadi anda menaruh ekspektasi tinggi. Sebaiknya tidak, karena anda mungkin akan kecewa pada akhirnya.

Dua agen CIA kelas atas yaitu Tuck dan FDR tengah menuntaskan misi menangkap bandit internasional bernama Heinrich. Saat rehat, FDR menyarankan Tuck untuk pergi berkencan dengan gadis yang baru dikenalnya lewat internet, Lauren. Di luar dugaan, Lauren justru tanpa sengaja bertemu FDR sepulang pertemuan dengan Tuck. Kedua agen yang sama-sama berani mati demi menyelamatkan nyawa masing-masing ini pun terlibat persaingan cinta yang ketat hingga melibatkan cara-cara yang tidak sehat.

 
Sutradara McG nampaknya tahu bagaimana menyatukan para bintang tersebut untuk bekerjasama secara maksimal di depan kamera. Jalan ceritanya memang mudah ditebak tapi untungnya dialog yang tercipta di antara karakter yang terbatas itu cukup bergigi, terlebih perkataan ceplas-ceplos menggigit dari Chelsea Handler yang provokatif untuk memancing tawa itu. Adegan aksi yang minimal lebih tepat disebut sebagai latar belakang cerita tapi masih cukup krusial di berbagai lini terutama di bagian pembuka dan penutup.

Jualan utama duet Pine dan Hardy terbukti dinamis. Tokoh FDR dan Tuck sama-sama pria tangguh yang berbagi chemistry bromance dan rivalitas secara memikat. Lihat bagaimana keduanya memanfaatkan teknologi canggih untuk saling mendahului. Sebagai penyeimbang, Witherspoon mungkin tidak semenarik dalam film-film bergenre sejenis terdahulu tetapi tokoh Lauren di tangannya benar-benar feminin dengan logika dan perasaan yang kerapkali bertentangan.

 
This Means War tampaknya berupaya menjangkau audiens yang lebih luas dengan plot cerita yang disuguhkan oleh penulis Timothy Dowling dan Marcus Gautesen ini. Jelas bukan action spy yang megah atau tipikal komedi boys and girls yang jenaka ataupun romance flick yang penuh tarik ulur tetapi McG mengemasnya dalam standar “jalan tengah” yang lumayan menghibur. Manjakan mata anda dengan aksi keren Hardy dan Pine dalam setelan kemeja dan jas yang perlente atau kebingungan Witherspoon dalam menjatuhkan pilihan yang sama beratnya. The most important thing is who’s ur pick from the very start?

Durasi:
98 menit

U.S. Box Office:

Overall:
7.5 out of 10

NEGERI 5 MENARA : sahibul menara kekal persahabatan



Quotes:
Alif: Eh mimpi tuh harus jauh, tinggi. Lihat seperti menara itu!

Nice-to-know:
Diproduksi secara kolaborasi oleh Simple Pictures, KG Productions, Million Pictures dan IB Perbankan Syariah dimana gala premierenya diselenggarakan di Gandaria XXI pada tanggal 25 Februari 2012.

Cast:
Donny Alamsyah sebagai Ustad Salman
Rangga Djoned sebagai Ustad Thorik
Lulu Tobing sebagai Amak
David Chalik sebagai Ayah
Ikang Fawzi sebagai Kyai Rais
Gazza Zubizareta sebagai Alif
Aris Putra sebagai Dulmajid
Billy Sandy sebagai Baso
Ernest Samudera sebagai Said
Rizki Ramdani sebagai Atang
Jiofani Lubis sebagai Raja
Andhika Pratama sebagai Fahmi

Director:
Merupakan film kelima Affandi Abdul Rachman yang mengawalinya dengan Pencarian Terakhir di tahun 2008.

W For Words:
Novel berjudul sama karangan Ahmad Fuadi ini memang telah mencatat sukses besar dengan berkali-kali dicetak ulang. Kini Salman Aristo dan Rino Sarjono bekerjasama mentransformasikan kisah persahabatan 6 remaja itu ke dalam skrip film yang akhirnya disutradarai oleh Affandi Abdul Rachman. Jujur saya belum membaca novelnya sehingga tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap filmnya, tidak pula membandingkannya dengan Laskar Pelangi (2008) atau Semesta Mendukung (2011) meskipun ada kemiripan tema yang tidak disengaja.

Tahun 1988, Alif tamat dari SMP dan direncanakan ayahnya melanjutkan studi ke pesantren Pondok Madani di Ponorogo. Berat hati ia meninggalkan kampung halaman, orangtua sekaligus sahabatnya Randai. Rencana satu tahun melewati masa percobaan saja urung terjadi karena Alif bertemu teman-teman baru yang sangat suportif yaitu Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Raja dari Medan, Said dari Surabaya dan Dulmajid dari Madura. Keenam remaja itu lantas berikrar untuk mempraktekkan slogan “Man Jadda Wajada” yang diajarkan Ustad Salman untuk mengejar impian masing-masing.

Sutradara Affandi mengusung narasi cerita yang runut menyenangkan dimana keterbatasan durasi waktu samasekali tidak mengekang kebebasannya berkreasi. Kehidupan sehari-hari keenam siswa SMU itu dibentangkan secara nyata dan manusiawi mulai dari jatuh hati, merindukan orangtua, membidik mimpi, berusaha keras dsb. Komposisi musik latar dari Aghi Narottama, Bemby Gusti dan Ramondo Gascaro juga semakin memperteguh spirit Alif cs dalam mengejar cita-citanya masing-masing.

Penonton diajak untuk merasakan “nyaman” saja mengikuti babak demi babak yang disuguhkan sambil sesekali tertawa ataupun terharu. Namun jika mau dicermati, nyaris tidak ada problematika krusial yang hinggap dalam film ini untuk memunculkan riak tersendiri, seakan kita hanya disugestikan menikmati sebuah pantai tenang dengan sesekali sapuan ombak di telapak kaki. Datar meski tidak sampai membosankan. Bahkan adegan penutupnya yang mengambil setting lokasi di London pun terasa tempelan belaka tanpa korelasi sebagai pembangkit semangat yang diharapkan.

Beruntung semua aktor remajanya tampil maksimal. Alif, Baso dan Said adalah tiga karakter favorit saya dimana Gazza, Billy dan Ernest mampu mencuri perhatian dengan ekspresi dan gesture alami di setiap kemunculan mereka. Sedangkan dari jajaran aktor dewasa, saya menghargai akting Ikang Fawzi sebagai Kyai Rais yang simpatik dan Andhika Pratama yang terasa pas sebagai arek Malang alias Fahmi. Donny Alamsyah dan Rangga Djoned terlepas dari minimnya porsi tetap memegang peranan penting di bagian awal dan akhir film terlebih saat memberikan inspirasi.

Adegan favorit saya tentu saja aksi panggung anak-anak kelas 2 pesantren Pondok Madani yang memukau dan inspiratif. Layaknya slogan “Man Jadda Wajada”, Negeri 5 Menara memang tidak mengajukan konsep impian yang terlalu muluk. Semua orang bisa mencapainya asalkan bersungguh-sungguh! Komitmen dan kerja keras jelas dibutuhkan untuk meraih standar kesuksesan yang diinginkan walaupun terkadang harus melampaui limitasi diri. Satu yang tak boleh terlupakan yaitu dukungan orang lain terutama keluarga, sahabat dan orang terdekat anda lah yang membuat semua itu tidak terlihat mustahil seperti yang ditunjukkan oleh Alif cs dengan lugas kali ini. Be sure to watch it!

Durasi:
119 menit

Overall:
8 out of 10

HUGO : a timeless tribute to cinematic wonder



 
 
Quotes:
Hugo Cabret: Maybe that's why a broken machine always makes me a little sad, because it isn't able to do what it was meant to do... Maybe it's the same with people. If you lose your purpose... it's like you're broken.

Nice-to-know:
Film pertama berating SU bagi Martin Scorsese dalam 18 tahun terakhir sekaligus tanpa adanya nama Leonardo Di Caprio dalam 12 tahun terakhir.

Cast:
Asa Butterfield sebagai Hugo Cabret
Chloë Grace Moretz sebagai Isabelle
Christopher Lee sebagai Monsieur Labisse
Ben Kingsley sebagai Georges Méliès
Sacha Baron Cohen sebagai Station Inspector
Ray Winstone sebagai Uncle Claude
Jude Law sebagai Hugo's Father

Director:
Merupakan film ke-50 bagi Martin Scorsese yang diawali dengan film pendek Vesuvius VI di tahun 1959.

W for Words:
Berapa banyak dari anda yang menyaksikan Hugo setelah kemenangan gemilang dalam ajang Academy Awards 2012 yang menghasilkan 5 piala kategori Best Achievement in Art Direction, Best Achievement in Cinematography, Best Achievement in Sound Editing, Best Achievement in Sound Mixing dan Best Achievement in Visual Effects itu? Saya adalah salah satunya. Namun jauh sebelum itu terjadi, mendengar kabar sutradara sekaliber Martin Scorsese menggarap film Semua Umur dari adaptasi buku berjudul “The Invention of Hugo Cabret.” karya Brian Selznick yang memenangkan medali Caldecott kategori buku bergambar untuk anak-anak saja sudah merupakan kejadian yang amat langka.

Hugo adalah seorang yatim piatu yang hidup di balik dinding stasiun kereta api Paris pada tahun 1930an. Keahliannya memperbaiki jam ataupun benda-benda elektronik lain membuatnya dipekerjakan oleh Georges Méliès yang sebelumnya menangkap basah Hugo mencuri peralatan. Misi Hugo sederhana yaitu membangkitkan automaton yang ditinggalkan mendiang ayahnya melalui kunci berbentuk hati yang ternyata dimiliki oleh Isabelle, putri angkat Melies. Keduanya pun terlibat petualangan unik yang menguak kenangan tak ternilai di masa lalu yang mungkin mengubah wajah sinema dunia.

 
Sutradara Scorsese membawa banyak elemen tak terlupakan dari film-film terdahulunya yang selalu di atas rata-rata itu ke dalam suguhan sepanjang 126 menit yang tentunya telah disesuaikan dengan pangsa pasarnya. Kerjasamanya dengan Robert Richardson dalam menghadirkan sinematografi Parisian pada jamannya juga terbilang memuaskan apalagi dibalut dalam efek 3D yang begitu kental mewujudkan esensi mimpi seorang anak sekalipun yang biasanya berangkat sebagai pengamat dunia sebelum benar-benar terjun di dalamnya.

Tiga nama terdepan adalah Asa Butterfield, Chloe Grace Moretz dan Ben Kingsley yang akan membawa anda bertualang secara magis dinamis dalam film ini mulai dari menjelajahi setiap jengkal stasiun kereta hingga merasakan pengalaman menonton sebuah film untuk pertama kalinya. Samasekali tidak ada keterkaitan yang dipaksakan antara Hugo dengan tokoh-tokoh lainnya, semua mengalir sesuai kebutuhan cerita yang pada akhirnya saling merangkai satu keping dengan yang lainnya. Boleh dibilang tidak ada tokoh antagonis disini kecuali Sascha Baron Cohen yang sedikit menjengkelkan walau tak jarang memaksa anda tertawa dengan polah tingkah kikuknya bersama anjing kesayangannya.

 
Sejarah Méliès yang lahir pada tahun 1861 ini mengawali karirnya sebagai pesulap ternama yang memiliki gedung teater sendiri sebelum beralih pada gambar bergerak setelah menyaksikan proyeksi film pertama pada tahun 1895. Anda diajak untuk menjadi saksi evolusi bagaimana perkembangan film dari format layar kurang dari 2 inci yang hanya bisa disaksikan satu orang menjadi layar lebar yang mampu mencakup sejumlah orang dalam sebuah gedung pertunjukan. Sangat mengesankan!

Hugo adalah sosok emosional karena hidup dalam kenangan yang digunakannya sebagai pemacu untuk terus melangkah maju sekaligus mempercayai konsep bahwa dirinya hanyalah suatu partikel kecil yang dapat membuat dunia berfungsi secara benar. Penuturan brilian dari Scorsese membawa sugesti persuasif yang jelas, yaitu mengajak penonton untuk selalu menghargai sekaligus percaya bahwa film memang selalu memiliki kekuatan untuk mewujudkan mimpi-mimpi anda. You will feel the passionate love from Scorsese’s Hugo, a timeless masterpiece that should be treated with an extra honor!

Durasi:
126 menit

U.S. Box Office:
$71,300,195 till Mar 2012.

Overall:
8.5 out of 10

LEAFIE : HEN INTO THE WILD freedom of boundaries is all about



 
 
Quotes:
Leafie: Fly with all your strength. Mommy will be watching.

Nice-to-know:
Film yang berjudul asli Madangeul Naon Amtak ini sudah rilis di Korea pada tanggal 28 Juli 2011 yang lalu.

Voice:
Moon So-ri sebagai Leafie – Ipssak
Yoo Seung Ho sebagai Greenie – Chorok
Choi Min-sik sebagai Wanderer
Park Cheol-min sebagai Mayor – Dalsu
Kim Sang-hyun sebagai One-Eye
Kyeong Jeon Sook sebagai Jjaek

Director:
Merupakan debut penyutradaraan Oh Seung Yun.

W for Words:
Sebuah animasi dari negeri ginseng yang memiliki premis manis diangkat dari novel karya Hwang Seon Mi yang secara fenomenal telah terjual lebih dari satu juta copy. Myung Films dan Odoltogi Production pun melihat peluang tersebut hingga mengutus Kim Eun Jeong untuk mengerjakan skripnya dan juga Oh Seung Yun untuk menggarap filmnya. Pertaruhan yang tidak sia-sia karena film ini laris manis di Korea dan China dimana telah diputar di lebih dari 1.400 layar!

Ayam petelur Leafie merasa bosan dengan hidupnya yang terkungkung di dalam kandang. Ia bertekad melarikan diri dan bertemu dengan itik pengembara dan kukang walikota di sebuah hutan setelah melewati serangan serigala bermata satu. Hidup Leafie berubah saat telur yang dieraminya menetas dimana bayi itik tersebut menganggapnya ibu. Greenie lantas bertumbuh semakin besar dan belajar untuk terbang seperti ayahnya sekaligus mempersiapkan diri mengikuti pemilihan itik penjaga bagi kawanannya. Petualangan Leafie mungkin tidak lagi sama dengan bayangannya dahulu.

Leafie & Greenie (kecil)
 
Terus terang kisah ini amatlah menyentuh karena melibatkan hubungan emosional antara orangtua (ibu) dan anak. Bagaimana kasih sayang orangtua kerapkali berbenturan dengan anak yang beranjak dewasa. Durasi satu setengah jam akan membawa anda pada petualangan Leafie di awal dan Greenie di akhir. Proses di antaranya akan melibatkan perjuangan hidup, penerimaan perbedaan serta pengejaran mimpi yang akan menohok hati sekaligus menggugah perasaan anda.

Oh Seung Yun menyuguhkan konsep animasi yang sederhana, memang tidak seglamor produksi Hollywood tapi tetap mampu memberikan detail yang mengagumkan. Narasi yang juga terdefinisikan dengan baik diperkuat dengan music scoring layaknya orchestra menawan menjadi nilai tambah lain. Karakterisasinya beragam meski tidak semuanya mendapat porsi memadai masih dapat menggelorakan unsur drama dan komedi yang cukup kental.

Leafie & Greenie (dewasa)
 
Berbagai adegan mengharukan antara Leafie dan Greenie mungkin dapat membuat air mata anda berderai. Manusiawi karena kita semua bisa merasakan situasi serupa dalam kehidupan nyata. Kisah yang mengajarkan anda untuk menggapai cita-cita tanpa harus mengabaikan orangtua yang telah membesarkan anda melalui proses yang tidak mudah. Walaupun mungkin berakhir di luar harapan penonton, Leafie : A Hen Into The Wild jelas tetap merupakan salah satu animasi Asia terbaik yang pernah dibuat. Solid enough to rock your deepest heart!

Durasi:
92 menit

Overall:
8 out of 10

POSTCARDS FROM THE ZOO : metafora indah perjalanan ambigu




Quotes:
Pak Maman: Kalo yang hilang, dia perlu dicari. Tapi kalo yang pergi, dia akan datang dengan sendirinya..

Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Babibutafilm dan Pallas Film ini sempat dinominasikan Golden Berlin Bear Award dalam ajang Berlin International Film Festival.

Cast:
Ladya Cheryl sebagai Lana
Nicholas Saputra
Adjie Nur Ahmad
Klarysa Aurelia
Dave Lumenta
Nazyra C. Noer
Heidy Trisiana Triswan

Director:
Merupakan feature film kedua bagi Edwin di luar berbagai film pendeknya sebelum ini.

W For Words:
Betapapun teramat ingin tapi nyatanya saya belum berkesempatan menyaksikan Babi Buta Ingin Terbang alias Blind Pig Who Wants To Fly (2009) hingga saat ini. Sisi positifnya mungkin akan muncul sebuah penilaian murni netral untuk film terbaru Edwin ini yang secara membanggakan sudah terpilih mewakili Indonesia berpartisipasi dalam ajang Berlin International Film Festival dan New York Tribeca Film Festival beberapa waktu yang lalu.

Alkisah Lana, seorang gadis yang sejak kecil telah ditinggalkan orangtuanya di kebun binatang Ragunan. Ia tumbuh besar dan menghabiskan hari-harinya bersama petugas atau pengunjung yang kerap memperkayanya dengan pengetahuan baru. Suatu ketika, Lana dipertemukan dengan Magician berkostum ala Koboi yang banyak mengajarkannya trik sulap sebelum diajak melangkah keluar dunia yang selama ini dikenalnya. Akankah pada akhirnya Lana mendapatkan pembelajaran yang dibutuhkan untuk menggapai mimpinya?



Sutradara Edwin memang banyak menggunakan metafora disini. 30 menit pertama nyaris tidak bercerita apa-apa karena sibuk menggambarkan kondisi kebun binatang sekaligus introduksi hewan-hewan di dalamnya mulai dari harimau, kuda nil sampai jerapah yang menjadi inspirasi sang tokoh utama. Tanpa lupa selipan berbagai kalimat narasi yang deskriptif digunakan sebagai pemotong scene yang efektif, tentunya dengan timing yang dianggap cukup untuk membuat penonton menarik kesimpulan sendiri sekaligus menyimpannya dalam benak masing-masing.

Ah betapa saya merindukan sosok Ladya Cheryl di layar lebar. Peran Lana dihidupkannya dengan pas dimana sifat naif dan rasa keingintahuan yang kuat menuntunnya melewati fase-fase kehidupan yang tidak pernah dapat terelakkan. Interaksinya dengan Nicholas Saputra juga terbilang unik. Tidak perlu diceritakan ketertarikan satu sama lain di antara kedua karakter ini karena penonton sudah dapat merasakan chemistry tersendiri saat mereka bersosialisasi. Keberanian Nazyra C Noer dan Sapto berakting lugas dalam "aktifitas" terlarang disini memang patut diacungi jempol.



Menonton Postcards From Zoo mungkin akan meninggalkan ambiguitas dalam diri anda layaknya potongan puzzle yang tersebar selama 95 menit. Gaya penceritaan Edwin yang linier memang tidak memberi penjelasan yang dibutuhkan penonton untuk dapat mengerti latar belakang setiap karakter intinya. Namun kebebasannya bereksperimen dengan sedikit sentuhan magis itulah yang menjadikan konsep film ini terasa matang dalam balutan semangat indie. Bagaikan menggiring kita dalam sebuah tour singkat kebun binatang yang dianalogikan sebagai dunia tempat anda berpijak dan hewan-hewan di dalamnya sebagai orang-orang yang anda temui dalam kehidupan sehari-hari dengan ragam variatif. Selalu dibutuhkan proses pengenalan, pembelajaran, adaptasi yang samasekali tidak mudah dilalui demi sebuah pencapaian tertinggi. Jika impian Lana ialah memegang perut jerapah, bagaimana dengan anda?

Durasi:
95 menit

Overall:
7.5 out of 10

THE LORAX : saving thneeds for ecological reminder


"kecuali...ada orang-orang yang amat peduli sepertimu...maka keadaan akan membaik."



Quotes:
Ted: The last seed?
Once-ler: It's not about what it is. It's about what it can become.

Nice-to-know:
This is the first film to feature Universal's 100th Anniversary logo.

Voice:
Danny DeVito sebagai The Lorax
Ed Helms sebagai The Once-ler
Zac Efron sebagai Ted
Taylor Swift sebagai Audrey
Betty White sebagai Grammy Norma
Rob Riggle sebagai Mr. O'Hare

Director:
Merupakan film kedua bagi Chris Renaud setelah Despicable Me (2010) dan kolaborasi pertama dengan Kyle Balda yang sebelumnya menangani beberapa film pendek.

W for Words:
Koleksi cerita Dr. Seuss memang amat beragam dari yang pendek hingga yang panjang. Sebagian di antaranya sudah diadaptasi ke layar lebar dengan pencapaian tersukses adalah How the Grinch Stole Christmas! (2000). Kali ini buku cerita anak-anak berisi 45 halaman pun ditranskripkan menjadi skenario oleh duo penulis, Ken Daurio dan Cinco Paul ke dalam animasi berdurasi 86 menit yang sebetulnya bertemakan serius ini yaitu pelestarian alam dari campur tangan manusia.

Bocah berusia 12 tahun Ted bertekad memenangkan hati gadis pujaannya Audrey dengan menelusuri kisah Lorax, makhluk oranye penggerutu berkumis lebat yang selalu berjuang untuk kestabilan ekosistem yang pernah dirusak oleh manusia egois bernama Once-ler yang seenaknya menggunduli pohon Thneeds untuk kepentingannya sendiri. Sayangnya petualangan Ted harus ditentang oleh walikota eksentrik Mr. O’Hare yang tidak ingin mengubah tata kotanya dengan cara apapun juga.

Ted

Plot utamanya memang sederhana yaitu pertemuan laki-laki dan perempuan. Namun di luar itu, subplotnya mengenai pelestarian alam memang amat kuat dinarasikan lewat animasi grafis yang keindahannya mencengangkan termasuk desain Thneedville lawas dan anyar yang sangat kontras. Meski demikian unsur 3D yang dibebatkannya nyaris tidak memberikan kontribusi apa-apa selain penampakan “timbul” yang minim, jauh jika dibandingkan dengan karya sutradara Chris Renaud sebelumnya.

Percakapan menggigit antara Ted dan Once-Ler di balik gubuknya merupakan kekuatan utama film ini. Rasa penasaran Ted disulihkan dengan baik oleh Zac Efron. Sama halnya kebijaksanaan Lorax yang disuarakan dengan maksimal oleh Danny DeVito. Sedangkan kredibilitas tinggi patut dilayangkan kepada penjiwaan naik turun Ed Helms yang hidup dalam penyesalan setelah termakan oleh ambisi pribadinya semasa muda lewat penemuan Truffula selain dorongan untuk memenuhi kebutuhan keluarga besarnya sendiri. Kelembutan suara Taylor Swift sebagai Audrey juga memperkaya keragaman karakter disini.

The Lorax & Once-Ler

Proyek yang beresiko tinggi ini rasanya akan lebih dapat dinikmati oleh anak-anak yang menemukan lucunya tingkah laku anak beruang atau imutnya trio ikan bernyanyi sambil berkoreografi. Nyatanya orang dewasa mungkin tidak akan terlalu terkesan begitu mengetahui sesungguhnya apa yang ingin dikampanyekan film ini yaitu menanam sebatang pohon demi kelangsungan penghijauan di muka bumi. Tujuan yang mulia karena digelorakan lewat animasi cantik semi-persuasif yang untungnya tidak terkesan memaksa ini. Simply let the trees grow. We should start caring bout it without being reminded!

Durasi:
86 menit

U.S. Box Office:.
$121,724,850 till March 2012

Overall:
7.5 out of 10