Monday, March 19, 2012

kematian sebagai komoditas

kematian dan kehidupan -
Gustav Klimt


Karena “kematian” seringkali dimaknai secara dangkal –dan ini yang terpenting. Kematian bukan lagi sesuatu yang menggetarkan hati dan pikiran manusia. Karena pengaruh teknologi media mutakhir, kematian tercerabut dari konteksnya sebagai pengalaman manusiawi yang unik dan khas, dan menjadi sekedar dara. Pendek kata, kematian menjadi fakta; ia menjadi faktualitas tetapi kehilangan maknanya sebagai faktisitas, pengalaman manusiawai yang human dan “riil”.

(Filsafat Kematian; Sebuah Hantaran Metodologis Awal, Al Fayadl, 2008)


Selama ini publik “terpaksa” atau “dipaksa” menikmati pemberitaan-pemberitaan tentang kematian. Mulai dari bencana alam, perang, kecelakaan, hingga pembunuhan. Pemberitaan-pemberitaan tersebut memperlihatkan dengan jelas, bagaimana kematian hanyalah satu dari sekian fenomena yang layak untuk diangkat sebagai headline pemberitaan. Sejajar dengan deklarasi capres dan cawapres, proses penyidikan kasus pembunuhan yang melibatkan tokoh penting, tangisan seorang ibu yang tidak bisa bertemu dengan anaknya di istana seberang lautan, hingga kelahiran bayi bintang kontroversial yang lama belum dikaruniai momongan. Penempatan kematian sebagai fenomena yang layak untuk dijadikan headline sama maknanya dengan menempatkan kematian sebagai suatu fenomena yang wajar, tidak sakral, ringan, dan hampa keintiman humanisme. Kematian menjadi komoditas pemberitaan yang dapat dengan mudah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, yang secara esensi sama sekali tidak memiliki hubungan yang rasional. 

Para politisi menjadikannya sebagai kendaraan untuk menunjukkan eksistensinya (membangun citra dan opini publik terhadap dirinya dan lawan-lawan politiknya), pengamat dunia penerbangan memandangnya sebagai kesempatan berbicara, kuli tinta dan kuli disket menggunakannya sebagai ajang unjuk gigi menunjukkan kualitas SDM, dan tentu saja media itu sendiri, yang memandanganya sebagai fenomena yang dapat mendorong oplah atau ratingnya. Kematian sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan-Nya tidak lagi menjadi wahana ber-innalillahi wa inna illaihi roji’un, namun hanya sebagai pseudo-phenomenon; datang-pergi, beranjak ke laci dan tak kembali.

Renungan ini hanya ingin menggarisbawahi bahwa fenomena kematian yang disebabkan oleh tindakan ceroboh manusia lain menjadikan kematian itu sendiri seakan hampa, tak berkesan, jalan hikmah, bahkan sebuah kewajaran yang mengajak. Pemberitaan dengan tema-tema kematian memiliki potensi besar untuk memotivasi individu lain melakukan aksi serupa yang mengarah pada kematian, seperti pembunuhan, kecerobohan, apatisme terhadap penderitaan dan atau situasi memprihatinkan di sekitarnya, dan lain sebagainya.

Banalitas Kematian Ala Media

Yasraf Amir Piliang seringkali menyampaikan bahwa era atau peradaban dunia saat ini sebagai era cyberspace; di mana media memiliki kekuatan maha dahsyat untuk mengetahui dan memaparkan ke publik, segala fenomena yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Melalui media kita bisa membaca, mengetahui, dan memahami segala bentuk dan model fenomena tanpa harus melakukan kontak fisik secara langsung. Tuntutan sosiologi dan ekonomi massa menjadikan tampilan realitas dalam Media bukan dalam bentuknya sebagai sebuah realitas sebenarnya (as it), melainkan menjadi sebuah realitas yang tidak sebenarnya (as do it). Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang cenderung eksis sebagai sebuah citra (as images). Penghilangan sekat demarkasi realitas oleh media ini mengakibatkan massa menemukan kesulitan untuk membedakan antara sebuah realitas sebenarnya (as it) dengan realitas tidak sebenarnya/rekayasa (as do it).

Fenomena kematian dalam media pun mengalami perlakuan yang sama.
Sulit membedakan antara kematian sebagai sebuah realitas sebenarnya dengan realitas ciptaan. Media merekonstruksi fenomena kematian dalam tayangan pemberitaannya tersebut sehingga membuatnya sulit dibedakan dengan kematian dalam realitas sebenarnya. Kematian dikonstruksi ulang sesuai dengan kebutuhan pemberitaan, dalam sebuah thriller movie kematian diperlihatkan dengan memperhatikan aspek-aspek estetika dan suspense sehingga kematian menjadi sebuah seni pertunjukkan yang memikat penontonnya. Lain halnya dengan rekonstruksi kematian dalam tayangan pemberitaan kriminalitas, kematian dipoles dengan sedikit bumbu-bumbu suspense demi tujuan justifikasi bersama terhadap si pelaku. Sedangkan kematian dalam pemberitaan kecelakaan lebih fokus pada pembangunan simpati massa, sehingga latar belakang, proses, dan penggalian fakta-fakta terkait relatif diabaikan. Bahkan, ada beberapa media menggunakan kematian dalam kecelakaan sebagai piranti justifikasi terhadap beberapa pihak tertentu oleh kepentingan tertentu, namun karena bersifat “memaksa” maka penjustifikasiannya cenderung prematur.

Kemanapun media membawa kematian, rekonstruksi kematian dalam tayangan-tayangannya melahirkan beragam interpretasi, yang memungkinkan realitas dalam kematian tersebut samar bahkan kabur. Sehingga, fenomena kematian tersebut menjadi sebuah peristiwa yang nir makna permenungan. Fenomena kematian yang sejatinya menjadi wahana komunikasi transedental bergeser menjadi trend yang bersifat temporer, dan memungkinkan tenggelam oleh trend pemberitaan lainnya. Pada situasional seperti inilah maka fenomena kematian, baik yang terjadi dalam realitas kehidupan maupun dalam sebuah realitas ciptaan/rekayasa disebut sebagai banalitas kematian.

Jikalau media massa menyadari posisinya sebagai salah satu piranti pendidikan maka proses-proses rekonstruksi kematian demi berbagai tujuan, yang pada hakekatnya berputar-putar dalam oplah dan rating, dapat menuntun massa pada tindakan mimetic (peniruan). Berkembangnya literasi ke area gambar dan akselerasi konstruksi bunyi (nada) menjadikan objek mimetic (peniruan) bergerak ke beragam ranah dan mendekonstruksi tatanan moral masyarakat, termasuk di dalamnya tatanan psikologi individu dalam masyarakat tersebut.

Polesan fenomena kematian dalam thriller movie, misalnya, memperlihatkan fenomena ketika seorang pembunuh menemukan ekstase ketika menyaksikan seorang korbannya melewati sekaratul maut. Pendeskripsian situasi ketika seorang pembunuh mengalami kondisi ekstase atau kesadaran puncak terhadap apa yang dilakukannya, dapat menuntun massa penonton untuk melakukan usaha pemenuhan keinginan, yaitu kepuasan membunuh. Ekstase kekerasan dalam tayangan kematian tersebut dihadirkan media dalam bentuk yang sangat destruktif.

Penempatan kematian dalam ekstase kekerasan menghilangkan esensi kematian itu sendiri, menjadi sesuatu yang banal, sesuatu yang hampa, dan sesuatu yang wajar. Baudrillard dalam bukunya “Fatal Strategies”, menyebut kematian dalam ekstase kekerasan ini sebagai strategi kesia-siaan (banal strategy) sebuah kematian yang hampa makna, sebuah kematian yang sia-sia (the banal death). Padahal, baik dari perspektif agama, sosial-budaya, hingga psikologi, menempatkan kematian sebagai sebuah fenomena kontemplatif yang memiliki kedalaman makna dalam menghargai kehidupan secara lebih. Penghargaan kepada fenomena kematian menuntun pembangunan konstruksi pendidikan individu untuk lebih menghargai kolektifitas, berikut tatanan normatifnya serta semua individu yang terlibat dan eksis di dalamnya.

Kehampaan makna kematian (the banal death) adalah sebuah realitas yang menyakitkan. Langkah-langkah strategis banal dalam memandang atau menempatkan sebuah fenomena, pada hakekatnya adalah menyia-nyiakan eksistensi fenomena tersebut ke dalam penjajahan citra-citra banal (banal images) yang dapat menguburkan humanisme dan menghilangkan sekat keluhuran budi antara manusia dengan binatang. Namun, dalam dunia yang terjebak dalam lingkaran setan ontologi citra (images), segala citra banal (gaya hidup, hiburan, tontonan, hobby, persepsi, trend) tersebut justru menjadi elemen-elemen penting dan menempati posisi superior, mengambil alih tempat bentuk citra lainnya (humanisme, kesucian, tauhid, norma). Ketika segala citra banal mampu mendominasi segenap relung peri kehidupan manusia, kemanusiaan hilang kesejatiaan dan terpuruk dalam stigma diri sebagai komoditas. Manusia memandang manusia lain sebagai dalam pola relasional antar komoditas yang temporer.
Namun manusia enggan menyadari bahwa apa diri mereka sedang menghilangkan sekat dengan binatang.

Realitas As It

Pembawaan realitas kematian ke dalam pemberitaan dan atau genre tayangan lainnya ke dalam media massa merupakan langkah dehumanisasi besar-besaran dalam kereta komodifikasi manusia. Media sebagai institusi dengan keberagaman identitas, fungsi dan peran seyogyanya lebih arif memisah-misahkan antara dirinya ketika menjadi institusi bisnis, institusi informatif, dan atau institusi pendidikan. Menilik besaran frekuensi masyarakat dalam berhubungan dengan media, penting bagi media untuk lebih proporsional dalam konteks perannya sebagai institusi pendidikan. Karena, perspektif psikologi maupun sosial-budaya sebuah masyarakat sangat mungkin dengan mudah dapat dibangun melalui media massa. Kalau kita memandang trend busana, gadget, hobby, maupun lifestyle sangat mudah dibangun dari tayangan-tayangan di media massa.

Penting bagi media agar mampu menampilkan sebuah realitas yang sebenarnya atau realitas otentik yang penuh dengan kejujuran, bukan semata demi membangun pencitraan. Menampilkan fenomena kematian secara menyeluruh, fenomena kematian sebagai sebuah etape dalam perjalanan hidup, sarat makna dan mampu menjadi wahana hikmah bagi individu lain. Bukan semata sebagai sebuah headline, silih-berganti dan berpijak pada trend atau terikat pada hukum ekonomi pasar. Media hendaknya arif, tidak lagi memetakan selling poin dalam fenomena kematian dan menyajikannya menjadi sebuah tayangan layak konsumsi belaka. 

Berikan ruang bagi kematian sebagai sebuah fenomena yang berharga, mulia, dan humanistis.
Media massa memang selalu berada di ruang antara, yaitu menghadirkan realitas otentik (as it) atau menghadirkan realitas rekayasa (as do it). Sedikit mengabaikan visi-misi, orientasi, dan mekanisme kinerja masing-masing media massa; adalah sebuah langkah yang kaya kebermanfaatan apabila media massa ikut berpartisipasi dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, baik dalam perspektif pengetahuan dan kemampuan, maupun dalam perspektif humanistis yang lebih bermoral. Jangan biarkan masyarakat sebagai penikmat media terkatung dan terpaksa menelaah sendiri antara realitas otentik dan realitas rekayasa, karena apapun realitas tersebut, mereka adalah literasi yang mampu memperkaya pengetahuan, kemampuan, dan membangun konstruksi manusia secara utuh.

Sudikah?

No comments:

Post a Comment