Monday, April 16, 2012

SANUBARI JAKARTA : Kompilasi Potret Kehidupan Yang Termarjinalkan

Sanubari Jakarta


Quotes:
Reuben: Kamu tuh pertama kali suka sama siapa?
Mia: Sama.. Monyet!

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Kresna Duta Foundation, Ardhanary Institute, Ford Foundation dimana screeningnya diadakan di PPHUI pada tanggal 7 April 2012.

Cast:
Gesata Stella sebagai Theresa/Bianca
Agastya Kandou sebagai Aga
Reva Marchellin
Timothy Hendry Munthe
Pevita Pearce
Miea Kusuma
Hernaz Patria
Filippo
Tata Trianti
Herfiza Novianti
Permatasari Harahap
Albert Halim
Raditya
Gia Partawinata sebagai Acel
Alviano
Haffez Ali sebagai Drajat
Dinda Kanyadewi
Dimas Hary CSP
Belvany
Ajeng Sardi
Kiki Machina
Raina
Ence Bagus
Reuben Elishama Hadju
Irfan Guchi
Arswendi Nasution
Jefan
Intan
Deddy Corbuzier
Illfie
Rangga Djoned
Ruth Pakpahan
Bemby Putuanda

W For Words:
Isu LGBT alias Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender memang tidak dapat dihindari dan akan selalu mengiringi kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia manapun juga. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut meskipun pemahaman setiap orang jelas berbeda-beda. Lola Amaria yang menggandeng beberapa lembaga dan institusi berinisiatif merangkul filmmaker-filmmaker anyar untuk terlibat dalam proyek omnibus yang keseluruhan ceritanya ditulis oleh Laila Nurazizah ini.

Film dengan banyak cerita di dalamnya, dikenal dengan istilah antologi/omnibus, marak tahun ini di bursa perfilman Indonesia. Setidaknya sampai saat ini ada Dilema dan HI5TERIA sudah tersaji di bioskop.
Lalu kini ada Sanubari Jakarta, sebuah film yang lebih banyak lagi soal pemaparan cerita. Ada 10 cerita dan 10 sutradara. Benang merahnya adalah semua cerita bertemakan bagaimana segelintir orang berusaha melawan dogma dalam menemukan jati diri mereka.

Kelebihan dari film berkonsep omnibus/antologi adalah penonton bisa mendapatkan berbagai "varian" dalam satu "racikan" tema. Jika Anda tidak suka dengan satu segmen, Anda bisa menanti segmen lain yang mungkin memenuhi selera sinema Anda.

Dan tantangan terbesar dari banyaknya film pendek dalam satu film antologi adalah bagaimana sineas memilih penempatan urutan masing-masing film agar kemudian bisa "dijahit" menjadi satu keutuhan film yang bisa dinikmati. Harus diakui masing-masing sutradara tentu akan menyajikan cita rasa berbeda di setiap segmen. Dan bila tidak jeli dalam memasang urutan dan membuat bridge yang pas di sela segmen, ketimpangan akan terasa.

Sanubari Jakarta adalah contoh film berkonsep antologi yang bisa menaklukan tantangan itu.

Sanubari Jakarta dibuka dengan kilau warna-warni gemerlap lampu kendaraan di suasana malam kota Jakarta. Dan film ini memang berwarna karena menyajikan 10 cerita yaitu, 1/2 , Malam Ini Aku Cantik, Lumba-Lumba, Terhubung, Kentang, Menunggu Warna, Pembalut, Topeng Srikandi, Untuk A dan Kotak Coklat.

Kebanyakan dari mereka menyajikan suatu cerita tentang mengenai pilihan hidup berbalut tema tentang orang-orang yang selama ini termajinalkan dan dipandang sebagai "noda" dalam masyarakat.

Ada 9 tema tentang pilihan hidup orang yang memilih orientasi seksual sebagai gay, lesbian, biseksual dan transgender di sini. Terselip satu segmen yang lebih merupakan kisah mengenai emansipasi wanita dalam Topeng Srikandi, yaitu mengenai seorang wanita yang berusaha membuktikan kesetaraan setelah dipecat dari pekerjaannya.

Kesepuluh segmen dalam Sanubari Jakarta disatukan dalam mood yang hampir sama. Pallet warna yang sendu dan lembut, seolah memposisikan film ini mengenai kisah tentang sekelompok orang yang memilih warna kehidupan yang tidak mencolok. Ya, orang-orang dalam film ini memilih jalan hidup dengan "warna" yang tidak lazim dengan orang-orang kebanyakan.

Di tengah mood yang hampir senada, terselip beberapa segmen dengan eksekusi yang beda dalam pemaparan hidup karakter-karakternya.

Segmen pembuka yang berjudul 1/2 misalnya. Segmen ini menjadi menarik karena sutradara muda potensial, Tika Pramesti, menceritakan kegamangan orientasi seksual seorang pria bernama Biyan melalui metafora kacamata 3 dimensi. Jika Anda mengamati kacamata 3 dimensi tentu akan sadar bahwa kacamata ini punya warna biru dan merah. Tika secara cerdas memakai dua warna ini untuk menggambarkan kegelisahan Biyan akan pilihan orientasi seksualnya. 1/2 disajikan dalam warna-warna pastel romantis dan sinematografi cantik. Pilihan Tika menggunakan warna tersebut memaparkan ada kerinduan dan keinginan karakter Biyan untuk menggapai angan romantis di tengah kegamangannya.


"1/2" - Sanubari Jakarta

Pallet warna serupa juga dipakai dalam segmen Lumba-Lumba dan Kotak Coklat. Dalam Lumba-Lumba, sutradara Lola Amaria memakai metafora mamalia laut cerdas itu untuk menegaskan pilihan orientasi seksual seorang karakter yang berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak bernama Adinda (Dinda Kanya Dewi).

Hal ini ditegaskan oleh sebuah artikel yang dibuka lewat Ipad mengenai lumba-lumba yang juga memiliki kecenderungan homoseksualitas dalam salah satu shot. Semakin ditegaskan oleh ujaran karakter Adinda, "Lumba-lumba itu sebenarnya hanyalah simbol untuk menjelaskan apa yang tidak bisa aku jelaskan,". Karakter Adinda juga dipaparkan mengalami masa romantis dengan karakter Anggia (Ruth Pakpahan), seorang ibu muda berpenampilan tomboy, lewat gesture dan adegan slow motion saat mereka berada di sebuah toko swalayan.

Kotak Coklat juga memaparkan sebuah kisah romantis antara seorang transgender yang berprofesi sebagai desainer bernama Miea (Miea Kusuma) dan pria bernama Reuben (Reuben Elishama Hadju). Segmen ini secara jelas menjadi film yang paling "mahal" dan cantik secara eksekusi. Hal ini bisa dilihat dari seting, warna dan juga pemain-pemain yang berupa elok. Pengalaman sutradara Sim F sebagai sutradara iklan, membuat segmen ini bermain dalam ruang bernuansa film-film romantis Thailand. Kotak Coklat memaparkan sebuah cerita yang terjadi pada kalangan atas.

Eksekusi berbeda ditampilkan dalam segmen Menunggu Warna, Pembalut dan Kentang. 3 segmen ini mendapat sentuhan komedi satire.

Menunggu Warna menjadi segmen yang paling "minimalis" dalam soal warna, di antara semua segmen yang ada di Sanubari Jakarta. Sutradara Adriyanto Dewo (juga terlibat dalam salah satu segmen omnibus HI5TERIA-red) memilih memaparkan kisahnya dalam nuansa hitam-putih dan tanpa dialog antara dua karakter utama, Adam (Albert Halim) dan Satria (Rangga Djoned).


Menunggu Warna - Sanubari Jakarta

Adam dan Satria adalah dua orang pekerja pabrik di sebuah kawasan industri di pinggiran Jakarta. Momentum emosional mereka berawal dan berakhir di sebuah lampu lalu lintas saat Satria yang mengendarai motornya menunggu lampu hijau, sementara karakter Adam berdiri di seberangnya. Pilihan menampilkan segmen ini dalam hitam putih menggambarkan konsep impian pasangan gay yang langgeng seperti warna hitam putih yang sering dideskripsikan sebagai warna abadi. Konsep hitam putih juga seolah menjadi jawaban akan pilihan judul, bahwa dua pasangan ini juga menunggu warna yang akan menghiasi kehidupan romantis mereka.

Segmen Pembalut juga berkonsep minimalis. Hanya dalam sebuah ruang hotel kecil dan memakai satu orang pemain, Gesata Stella. Aktris berbakat ini memerankan multi dimensional karakter sebagai Theresia, Bianca, Leona dan cleaning service hotel. Sutradara Billy Christian secara efektif melakukan eksplorasi karakter hanya melalui Gesata dan seorang aktris body double. Bercerita tentang pasangan lesbian yang mempertanyakan pilihan hidup untuk menikah dengan pria normal atau terus bertahan dengan pasangan lesbian mereka.

Billy Christian menggunakan pilihan seorang aktris untuk memainkan banyak karakter menegaskan pandangannya bahwa lesbian hanyalah seorang perempuan biasa. Mereka tetap menghadapi persoalan yang sama, yaitu persoalan tentang siklus biologis dan juga psikis. Pembalut menjadi simbol bahwa setiap wanita selalu membutuhkan benda ini dalam keseharian mereka. Sebuah simbol bahwa wanita (entah hetero atau homoseksual) sebenarnya sama.


Pembalut - Sanubari Jakarta

Kentang menjadi segmen yang paling komedikal dalam Sanubari Jakarta. Debut penyutradaraan editor film Aline Jusria ini menyajikan kisah tentang dua orang pasangan gay Marcel (Gia Partawinata) dan Drajat (Haffes Ali) yang sedang berusaha melepaskan hasrat rindu setelah lama tidak bersua. Namun saat berusaha bermesraan di kamar kost Drajat yang sempit, pasangan ini mendapat berbagai halangan sehingga kemesraan mereka terganggu akibat perdebatan-perdebatan yang dipicu oleh halangan-halangan itu.

Kentang menjadi debut yang sukses bagi Aline setelah tahun lalu meraih Citra untuk kategori penyunting gambar terbaik di Catatan Harian Si Boy. Segmen ini tetap disajikan dalam warna yang cenderung gelap, tapi dibalut dalam komedi satir tentang dilema Drajat, seorang gay yang belum terbuka soal orientasi seksualnya kepada publik. Kentang merupakan titik temu persinggungan pemikiran Marcel dan Drajat setelah 2 tahun membina hubungan. Sementara pasangannya, Marcel, sudah terbuka tentang orientasi seksualnya.

Segmen ini berhasil mengubah tensi ketegangan yang terjadi antara Marcel-Drajat menjadi komedi yang mengundang gelak tawa. Situasi canggung, celotehan Marcel (karakter gay yang digambarkan sebagai sosok yang lebih kemayu) serta berbagai distraksi menjadi kocak di tangan Aline. Ada berbagai dialog vulgar terlontar dari mulut karakter Marcel yang memang cablak, tanpa tedeng aling-aling.


Kentang - Sanubari Jakarta


Ada beberapa kecenderungan yang bisa dicermati dalam Sanubari Jakarta. Salah satunya adalah segmen yang memaparkan tentang kisah romansa lesbian dan transgender dipaparkan dalam warna dan mood yang sendu.

Seperti halnya Terhubung, Malam Ini Aku Cantik, Untuk A dan Kotak Coklat, serta Lumba-Lumba. Penulis tidak bisa mengetahui secara pasti alasan dibalik membuat kisah transgender dan lesbian di buat dalam mood seperti itu. Tapi bila menilik dari ke empat segmen di Sanubari Jakarta, karakter transgender dan lesbian memang mendapat sering mendapat tekanan dalam masyarakat. Hal ini diawali dari wujud mereka (sebelum atau sesudah untuk transgender) sebagai perempuan. Meski sejak tahun 1975 telah diadakan Konferensi Wanita Sedunia pertama di Mexico City, perempuan juga masih mendapat ruang apresiasi lebih terpinggirkan dalam berkarya. Atau mungkin perempuan sering dideskripsikan sebagai mahluk anggun yang melankolis.

Berbeda dengan segmen yang memaparkan kehidupan gay seperti, 1/2, Kentang atau Menunggu Warna yang terasa lebih "ringan" secara mood.

Nilai lebih dari film kompilasi berbagai kisah (omnibus, antologi atau apapun istilahnya) seperti Sanubari Jakarta adalah kita bisa menemukan bakat-bakat baru yang segar.

Dinda Kanya Dewi, misalnya. Aktris yang lekat sebagai karakter antagonis di sebuah sinetron ini, membuktikan bakatnya di penyutradaraan debutnya. Malam Ini Aku Cantik adalah contoh konkrit, betapa Dinda berhasil menyajikan suatu cerita tentang seorang waria bernama Agus (Dimas Hary CSP) yang menjajakan diri di pinggir jalan demi wujud cinta terhadap keluarga.


Malam Ini Aku Cantik - Sanubari Jakarta

Agus adalah seorang pria yang memiliki alter ego. Saat mengenakan wig dan busana wanita, ia menjadi sosok cantik. Lewat alter ego itulah Agus mencari nafkah yang kemudian ditabung. Agus tidak mencari cinta ataupun jodoh, layaknya sesama rekan warianya yang maih muda dan enerjik. Di usianya yang beranjak senja, Agus sudah mencapai fase di mana ia telah menemukan cinta sejatinya untuk keluarga. Dimas Harry berhasil menghadirkan sosok Agus yang lembut, pasrah dan beraut muka bijaksana, sekaligus elegan. Dengan cepat penonton akan menangkap bahwa Agus adalah sosok waria "istimewa". Seperti salah seorang pelanggan di segmen ini yang lebih memilih Agus ketimbang rekan-rekannya yang masih segar.

Sosok transgender yang sudah mencapai fase "kematangan" juga digambarkan dalam segmen Untuk A. Sutradara Fira Sofiana secara efektif memanfaatkan sebuah ruang untuk menuturkan sebuah cerita panjang tentang seorang perempuan yang memutuskan berubah menjadi lelaki.

Kisah disampaikan lewat narasi dan akting luar biasa aktor teater Arswendy Nasution sebagai Ari. Lewat narasi cerdas, penonton akan merasakan rangkuman emosi dan sejarah Ari saat memutuskan menjadi lelaki. Arswendy melakukan gesture sangat efektif, tanpa dia perlu mendapat sentuhan tata rias. Kepedihan, kesedihan dan juga kebahagiaan Ari lewat durasi hanya 10 menit.

Fira juga mampu menggambarkan sosok Ari sebagai karakter yang teguh dan setia memegang prinsip, serta keputusannya. Bukan hanya lewat akting brilian Arswendy, namun juga lewat pemilihan properti seperti mesin ketik tua dan telepon seluler sederhana. Karakter Ari bisa saja memakai laptop atau smartphone, tapi Ari tidak melakukannya.


Untuk A - Sanubari Jakarta

Sanubari Jakarta juga memberi kesempatan kepada penulis naskah, Laila Nurazizah, untuk menyumbangkan pemikiran tajamnya. Mahasiswi jurusan kriminologi Universitas Indonesia ini mampu membuat naskah yang cerdas, efektif dan juga relevan. Laila memang bekerjasama dengan para sutradara Sanubari Jakarta untuk membuat sebuah rangka cerita. Tapi tetap saja bakat Laila memberi sentuhan luar biasa kepada masing-masing segmen, sehingga memiliki ruh. Wajar bila kita akan banyak menyaksikan nama Laila sebagai penulis naskah film ke depannya. Alasannya sederhana, karena ia berbakat.

Film Sanubari Jakarta dibuat dengan semangat indie. Masing-masing sutradara menentukan bujet produksi dari kantung masing-masing. Logis bila kemudian didapati ketimpangan secara artistik dan filmis. Namun, setiap segmen di film ini bisa "dijahit" dengan rapi. Penempatan masing-masing segmen juga tepat, meski 3 segmen terakhir terasa lebih lamban dibanding 7 segmen awal.

Setiap segmen juga dihubungkan lewat transisi yang pas. Perpindahan setiap segmen dijembatani dengan bridge yang mengambil pemandangan kota Jakarta. Entah itu saat malam ataupun siang. Perpindahan berlangsung mulus dan membuat penonton tidak merasa "loncat" dari satu segmen ke segmen lain.


Lumba-lumba - Sanubari Jakarta


Ada beberapa kesamaan dalam setiap segmen yang juga bisa menjadi benang merah dalam Sanubari Jakarta.

Pertama adanya shot yang menampilkan album atau figura. Dalam figura atau album foto di film ini, dipajang foto keluarga. Semacam metafora bahwa setiap karakter dalam film ini mencoba keluar dari "figura" dogma yang selama ini membatasi ruang gerak mereka. Mereka berada dalam "figura" tatanan hidup yang dipandang normal, agar bisa diterima masyarakat dan mereka tidak menjadi diri sendiri. Hanya menjadi "pajangan" manis penghias meja.

Kedua, dalam beberapa segmen seperti Malam Ini Aku Cantik dan Terhubung, disebutkan kalimat klise, "jodoh di tangan Tuhan,". Ini menjelaskan bahwa "jodoh" masing-masing karakter dan itu adalah di tangan Tuhan. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan apakah pasangan mereka saat ini adalah jodoh? Apakah bila pasangan mereka dari kaum sejenis apakah itu tidak bisa disebut jodoh?

Akan tetapi ada juga yang perlu dicermati dalam Sanubari Jakarta. Film ini memaparkan transgender atau transeksual. Namun, ketika mereka sudah menjadi sosok yang diinginkan. Tidak terdapat kisah yang menceritakan bagaimana pergolakan seorang dengan krisis identital seksual menghadapi kesulitan saat akan melakukan operasi pergantian kelamin. Dalam beberapa kasus, fase inilah yang terberat yang dihadapi oleh seorang transgender. Ketika mereka sudah melakukan operasi, setidaknya mereka sudah menetapkan sebuah pilihan. Hal ini sayangnya terlewatkan dalam Sanubari Jakarta.

Hampir semua segmen di film ini juga memaparkan karakter dengan kemampuan ekonomi menengah atas. Sebuah level sosial di mana urusan makanan pokok bukanlah menjadi pemikiran utama. Dalam level ini toleransi terhadap apapun menjadi lebih terbuka, friksi antar pandangan memang lebih mudah terjadi di kalangan ekonomi bawah. Hal ini dikarenakan taraf pendidikan di level menengah ke atas lebih baik. Sesuatu yang digambarkan dalam segmen Malam Ini Aku Cantik, Menunggu Warna atau Kentang.


Kotak Coklat - Sanubari Jakarta


Menurut salah satu penelitian, kaum homoseksual memang menganggap kelas dan status sosial sangat penting bagi mereka (Hapsari, Trisika Putri (2007) - Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian produk pada komunitas gay di Jakarta. Perpustakaan Universitas Indonesia UI - Tesis S2).

Pemikiran tersebut timbul akibat kebutuhan untuk bersosialisasi dan merasa nyaman dengan komunitasnya sendiri dengan tidak merasa terdiskriminasi karena perbedaan orientasi seksualnya (Lugosi, Peter (2007) - Consumer participation in commercial hospitality. School of Services Management, Bournemouth University, Poole. UK)

Dengan disempilkannya cerita dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, membuat Sanubari Jakarta menyajikan perspektif beragam dalam memandang kelompok masyarakat yang termarjinalkan ini.

Penulis memandang Sanubari Jakarta adalah sebagai film yang dieksekusi dengan baik dan mampu menghibur. Terlepas dari tema yang bagi sebagian orang belum mampu menerimanya.

Penulis menyaksikan film bersama para penonton lain, yang mengeluarkan ekspresi geli dan seruan "amit-amit", saat beberapa adegan menjurus pada hal yang vulgar.

Sebuah ekspresi spontan yang bisa diartikan bahwa penolakan itu tetap ada meskipun mungkin kecil. Namun, tidak ada yang keluar dari ruang putar. Hal ini menandakan bahwa sebagai sebuah tontonan, Sanubari Jakarta membuat penonton betah untuk menantikan segmen selanjutnya. Bahkan mereka tertawa saat beberapa adegan lucu hadir.

Dan mari kita menganggap Sanubari Jakarta sebagai sebuah produk budaya yang mencoba menyajikan potret bagian kecil masyarakat kita. Sebagai suatu bentuk kegiatan berkesenian sekelompok orang yang mewujudkannya dalam sebuah film yang utuh dan menghibur.

Lupakan arogansi dan pretensi bahwa fakta dalam film ini tidak pernah terjadi, bahkan harus dibasmi. Di tengah lesunya apresiasi penikmat film Indonesia terhadap produk sendiri, anggap saja Sanubari Jakarta sebagai tempat untuk melakukan piknik visual untuk menghibur kepenatan sanubari.

Seperti yang diungkapkan dalam segmen 1/2, kita harus memandang film ini dalam kacamata 3 dimensi yang utuh. Kita tidak bisa memandang hanya dari satu frame warna. Kita harus menggunakan dua frame dalam "kacamata" berpikir kita, sehingga visualisasi dalam Sanubari Jakarta terbentuk nyata dan menyeluruh dalam pemahaman. Tidak lantas menjadi pemahaman parsial yang banal.

Dan film ini memang menghibur serta memaparkan keragaman emosi, layaknya kompilasi potret kehidupan yang termarjinalkan. Sesederhana itu saja menilai film ini.

Saya acungkan dua jempol bagi omnibus satu ini yang berani mengangkat tema sensitif. Sanubari Jakarta akan mengetuk pintu hati anda semua sewaktu melintasi babak demi babak kehidupan orang-orang yang dianggap “abnormal” oleh lingkungannya. Sebuah kenyataan yang tersimpan rapat tanpa bisa tersembunyikan di setiap sudut kota, berusaha agar tidak dihakimi norma-norma yang berlaku. Honest, witty and colorful presentation with every themes in it. Keep your mind wide open to understand its own message!

Durasi:
100 menit

Overall:
7.5 out of 10

No comments:

Post a Comment