Wednesday, February 22, 2012

The Elephant's Journey by José Saramago

the elephant's journey


Jose Saramago dikenal dengan resep “what if” yang fantastis di novel-novelnya. Meskipun tak seheboh bagaimana jika semenanjung Iberia terpenggal dan hanyut ke laut (The Stone Raft), atau bagaimana jika sosok nama pena Fernando Pessoa muncul di hari kematiannya (The Year of the Death of Ricardo Reis), atau bagaimana jika separuh penduduk kota terserang kebutaan (Blindness), kali ini sang penulis menawarkan kisah: apa yang terjadi jika seekor gajah dibawa dari Lisbon ke Vienna di tahun 1551 (The Elephant Journey). Gajah jelas bukan binatang yang umum di Eropa barat, bahkan sekarang ini pun barangkali mereka cuma melihatnya di sirkus atau kebun binatang.

Satu malam, Saramago pergi makan bersama rekannya di sebuah restoran bernama “Gajah”. Di dalamnya ada ukiran kayu berderet, yang ternyata berupa bangunan-bangunan dari berbagai negara Eropa, yang menyiratkan sejenis jalur perjalanan. Saramago kemudian diberitahu rekannya, itu perupakan ilustrasi perjalanan seekor gajah di abad enam belas dari Lisbon ke Vienna. Dengan seketika otak pendongengnya bekerja: pasti ada sesuatu yang bisa diceritakan dari perjalanan gajah tersebut.

Di sinilah dengan jeli bagaimana ia merajut kisah perjalanan seekor gajah melintasi benua Eropa menjadi “kisah yang lain”. Yakni tentang kisah seorang asing di negeri asing (pawang si gajah bernama Subhro, dibawa langsung dari India, negeri asal si gajah); Tentang hamba dan rajanya (Subhro dan raja Portugis, kemudian Subrho dengan bangsawan Austria, kepada siapa gajah itu diberikan); kisah mengenai ekspedisi militer (ya, rombongan gajah itu dikawal oleh satu pasukan tentara); dan tentu saja kisah hubungan manusia dan binatang (apalagi jika antara manusia-manusia di sekitarnya dengan si gajah).

Bahkan kisah ini pun menyeret wilayah politik agama, bahkan perbenturan agama Hindu dan Katolik, serta kemudian antara Katolik dan Protestan. Dikisahkan, di tengah perjalanan, Subhro bercerita tentang makna gajah bagi orang India kepada komandan pasukan. Subhro tentu saja bilang, bahwa gajah di India berarti Ganesha, salah satu dewa mereka. Rupanya hal ini dianggap bidah oleh penduduk yang mendengar bahwa seekor gajah dianggap sebagai dewa/tuhan. Urusan ini dengan segera sampai ke telinga pastor gereja lokal.

Situasi cerita ini di tengah zaman Inkuisisi. Artinya: bidah dan sejenisnya, ancamannya jelas tak cuma ditangkap, mungkin juga dibakar layaknya penyihir. Menganggap seekor gajah sebagai tuhan, tentu tak ada tempat di masyarakat Eropa masa itu. Demikianlah si gajah bahkan sudah terancam jauh sebelum sampai tempat tujuan. Tapi di tempat lain, si gajah justru kali ini berhasil dimanfaatkan gereja Katolik. Kemampuannya untuk mengikuti perintah sang pawang, dimanfaatkan untuk melewati dan menghormat di depan patung seorang santa. Kelakuan ini dengan cepat dianggap sebagai mukjizat. Dalam hal ini, gereja Katolik sedang membutuhkan lebih banyak mikjizat dalam rangka menghadapi gerakan Protestan yang semakin meluas di Eropa.

Sebagaimana biasa, di tangan Saramago, kisah mengenai perjalanan seekor gajah tak semata-mata menjadi “kisah mengenai perjalanan seekor gajah”. Selalu lebih dari itu.

Tapi yang menarik perhatian saya, dan dungunya saya baru menyadarinya sekarang setelah membaca beberapa novelnya, adalah gaya narasinya yang seringkali melantur. Maksud saya, jika ia sedang menceritakan sesuatu, kemudian sampai pada obyek A, ia akan melantur dulu menceritakan A, sebelum kembali ke arus utama cerita. Awalnya saya selalu menganggap ini sebagai sejenis gangguan ketika membaca novel-novelnya (di luar kalimat dan paragrafnya yang panjang-panjang). Tapi kemudian saya sadar: itu strateginya untuk memperlihatkan bahwa sang narator, tengah bicara langsung dengan pendengar/pembacanya. Dan lanturan itu diperlukan seringkali untuk memberi konteks yang lebih luas.

Lihat saja bagian pembukanya. Pada dasarnya ia ingin mengabarkan bahwa ide memberikan hadiah gajah itu datang dari permaisuri. Tapi Saramago berputar dulu mengisahkan (atau berceramah) mengenai pentingnya “ranjang kerajaan” dalam berbagai hal kebijakan (hahaha!). Dan mengenai narator yang ngobrol asyik dengan pembacanya, maksud saya adalah, narator ini sengaja memberi jarak yang ketara dengan ceritanya. Katakanlah cerita novel ini bersetting tahun 1551, tapi si narator sengaja tak mencoba berada di tempat yang sama dengan cerita, melainkan memilih berada di tempat yang sama dengan pembaca (yakni tahun 2000an) dengan mengatakan: “Sayang sekali fotografi belum ditemukan di abad enam belas …”

Seperti orang mendongeng, benar-benar mendongeng secara lisan, yang kebetulan saja dituliskan. Seperti itulah saya kira novel (dan novel-novelnya yang lain) Saramago ini.
 
 
-----------------------------------
Tak ada yang lebih menyedihkan ketika mendengar penulis besar meninggal. 18 juni 2010: Jose Saramago, 87 tahun, berpulang. Saya pikir tak ada cara yang lebih baik untuk menghormati kepergiaan seorang penulis, kecuali menuliskan sesuatu tentangnya.

No comments:

Post a Comment