kematian dan kehidupan - Gustav Klimt |
Karena “kematian”
seringkali dimaknai secara dangkal –dan ini yang terpenting. Kematian
bukan lagi sesuatu yang menggetarkan hati dan pikiran manusia. Karena
pengaruh teknologi media mutakhir, kematian tercerabut dari konteksnya
sebagai pengalaman manusiawi yang unik dan khas, dan menjadi sekedar
dara. Pendek kata, kematian menjadi fakta; ia menjadi faktualitas tetapi
kehilangan maknanya sebagai faktisitas, pengalaman manusiawai yang
human dan “riil”.
(Filsafat Kematian; Sebuah Hantaran Metodologis Awal, Al Fayadl, 2008)
Selama
ini publik “terpaksa” atau “dipaksa” menikmati pemberitaan-pemberitaan
tentang kematian. Mulai dari bencana alam, perang, kecelakaan, hingga
pembunuhan. Pemberitaan-pemberitaan tersebut memperlihatkan dengan
jelas, bagaimana kematian hanyalah satu dari sekian fenomena yang layak
untuk diangkat sebagai headline pemberitaan. Sejajar dengan
deklarasi capres dan cawapres, proses penyidikan kasus pembunuhan yang
melibatkan tokoh penting, tangisan seorang ibu yang tidak bisa bertemu
dengan anaknya di istana seberang lautan, hingga kelahiran bayi bintang
kontroversial yang lama belum dikaruniai momongan. Penempatan kematian sebagai fenomena yang layak untuk dijadikan headline
sama maknanya dengan menempatkan kematian sebagai suatu fenomena yang
wajar, tidak sakral, ringan, dan hampa keintiman humanisme. Kematian
menjadi komoditas pemberitaan yang dapat dengan mudah ditunggangi oleh
kepentingan-kepentingan tertentu, yang secara esensi sama sekali tidak
memiliki hubungan yang rasional.
Para politisi menjadikannya sebagai
kendaraan untuk menunjukkan eksistensinya (membangun citra dan opini
publik terhadap dirinya dan lawan-lawan politiknya), pengamat dunia
penerbangan memandangnya sebagai kesempatan berbicara, kuli tinta dan
kuli disket menggunakannya sebagai ajang unjuk gigi menunjukkan kualitas
SDM, dan tentu saja media itu sendiri, yang memandanganya sebagai
fenomena yang dapat mendorong oplah atau ratingnya. Kematian sebagai
salah satu tanda-tanda kekuasaan-Nya tidak lagi menjadi wahana ber-innalillahi wa inna illaihi roji’un, namun hanya sebagai pseudo-phenomenon; datang-pergi, beranjak ke laci dan tak kembali.
Renungan ini hanya
ingin menggarisbawahi bahwa fenomena kematian yang disebabkan oleh
tindakan ceroboh manusia lain menjadikan kematian itu sendiri seakan
hampa, tak berkesan, jalan hikmah, bahkan sebuah kewajaran yang
mengajak. Pemberitaan dengan tema-tema kematian memiliki potensi besar
untuk memotivasi individu lain melakukan aksi serupa yang
mengarah pada kematian, seperti pembunuhan, kecerobohan, apatisme
terhadap penderitaan dan atau situasi memprihatinkan di sekitarnya, dan
lain sebagainya.
Banalitas Kematian Ala Media
Yasraf Amir Piliang seringkali menyampaikan bahwa era atau peradaban dunia saat ini sebagai era cyberspace;
di mana media memiliki kekuatan maha dahsyat untuk mengetahui dan
memaparkan ke publik, segala fenomena yang terjadi di seluruh penjuru
dunia. Melalui media kita bisa membaca, mengetahui, dan memahami segala
bentuk dan model fenomena tanpa harus melakukan kontak fisik secara
langsung. Tuntutan sosiologi dan ekonomi massa menjadikan tampilan
realitas dalam Media bukan dalam bentuknya sebagai sebuah realitas
sebenarnya (as it), melainkan menjadi sebuah realitas yang tidak sebenarnya (as do it). Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang cenderung eksis sebagai sebuah citra (as images).
Penghilangan sekat demarkasi realitas oleh media ini mengakibatkan
massa menemukan kesulitan untuk membedakan antara sebuah realitas
sebenarnya (as it) dengan realitas tidak sebenarnya/rekayasa (as do it).
Fenomena kematian dalam media pun mengalami perlakuan yang sama.
Sulit membedakan antara
kematian sebagai sebuah realitas sebenarnya dengan realitas ciptaan.
Media merekonstruksi fenomena kematian dalam tayangan pemberitaannya
tersebut sehingga membuatnya sulit dibedakan dengan kematian dalam
realitas sebenarnya. Kematian dikonstruksi ulang sesuai dengan kebutuhan
pemberitaan, dalam sebuah thriller movie kematian
diperlihatkan dengan memperhatikan aspek-aspek estetika dan suspense
sehingga kematian menjadi sebuah seni pertunjukkan yang memikat
penontonnya. Lain halnya dengan rekonstruksi kematian dalam tayangan
pemberitaan kriminalitas, kematian dipoles dengan sedikit bumbu-bumbu
suspense demi tujuan justifikasi bersama terhadap si pelaku. Sedangkan
kematian dalam pemberitaan kecelakaan lebih fokus pada pembangunan
simpati massa, sehingga latar belakang, proses, dan penggalian
fakta-fakta terkait relatif diabaikan. Bahkan, ada beberapa media
menggunakan kematian dalam kecelakaan sebagai piranti justifikasi
terhadap beberapa pihak tertentu oleh kepentingan tertentu, namun karena
bersifat “memaksa” maka penjustifikasiannya cenderung prematur.
Kemanapun media membawa
kematian, rekonstruksi kematian dalam tayangan-tayangannya melahirkan
beragam interpretasi, yang memungkinkan realitas dalam kematian tersebut
samar bahkan kabur. Sehingga, fenomena kematian tersebut menjadi sebuah
peristiwa yang nir makna permenungan. Fenomena kematian yang sejatinya
menjadi wahana komunikasi transedental bergeser menjadi trend yang
bersifat temporer, dan memungkinkan tenggelam oleh trend pemberitaan
lainnya. Pada situasional seperti inilah maka fenomena kematian, baik
yang terjadi dalam realitas kehidupan maupun dalam sebuah realitas
ciptaan/rekayasa disebut sebagai banalitas kematian.
Jikalau media massa
menyadari posisinya sebagai salah satu piranti pendidikan maka
proses-proses rekonstruksi kematian demi berbagai tujuan, yang pada
hakekatnya berputar-putar dalam oplah dan rating, dapat menuntun massa
pada tindakan mimetic (peniruan). Berkembangnya literasi ke area gambar dan akselerasi konstruksi bunyi (nada) menjadikan objek mimetic
(peniruan) bergerak ke beragam ranah dan mendekonstruksi tatanan moral
masyarakat, termasuk di dalamnya tatanan psikologi individu dalam
masyarakat tersebut.
Polesan fenomena kematian dalam thriller movie, misalnya, memperlihatkan
fenomena ketika seorang pembunuh menemukan ekstase ketika menyaksikan
seorang korbannya melewati sekaratul maut. Pendeskripsian situasi ketika
seorang pembunuh mengalami kondisi ekstase atau kesadaran puncak
terhadap apa yang dilakukannya, dapat menuntun massa
penonton untuk melakukan usaha pemenuhan keinginan, yaitu kepuasan
membunuh. Ekstase kekerasan dalam tayangan kematian tersebut dihadirkan
media dalam bentuk yang sangat destruktif.
Penempatan kematian
dalam ekstase kekerasan menghilangkan esensi kematian itu sendiri,
menjadi sesuatu yang banal, sesuatu yang hampa, dan sesuatu yang wajar.
Baudrillard dalam bukunya “Fatal Strategies”, menyebut kematian dalam ekstase kekerasan ini sebagai strategi kesia-siaan (banal strategy) sebuah kematian yang hampa makna, sebuah kematian yang sia-sia (the banal death).
Padahal, baik dari perspektif agama, sosial-budaya, hingga psikologi,
menempatkan kematian sebagai sebuah fenomena kontemplatif yang memiliki
kedalaman makna dalam menghargai kehidupan secara lebih. Penghargaan
kepada fenomena kematian menuntun pembangunan konstruksi pendidikan
individu untuk lebih menghargai kolektifitas, berikut tatanan
normatifnya serta semua individu yang terlibat dan eksis di dalamnya.
Kehampaan makna kematian (the banal death)
adalah sebuah realitas yang menyakitkan. Langkah-langkah strategis
banal dalam memandang atau menempatkan sebuah fenomena, pada hakekatnya
adalah menyia-nyiakan eksistensi fenomena tersebut ke dalam penjajahan
citra-citra banal (banal images) yang dapat menguburkan
humanisme dan menghilangkan sekat keluhuran budi antara manusia dengan
binatang. Namun, dalam dunia yang terjebak dalam lingkaran setan
ontologi citra (images), segala citra banal (gaya hidup,
hiburan, tontonan, hobby, persepsi, trend) tersebut justru menjadi
elemen-elemen penting dan menempati posisi superior, mengambil alih
tempat bentuk citra lainnya (humanisme, kesucian, tauhid, norma). Ketika
segala citra banal mampu mendominasi segenap relung peri kehidupan
manusia, kemanusiaan hilang kesejatiaan dan terpuruk dalam stigma diri
sebagai komoditas. Manusia memandang manusia lain sebagai dalam pola
relasional antar komoditas yang temporer.
Namun manusia enggan menyadari bahwa apa diri mereka sedang menghilangkan sekat dengan binatang.
Realitas As It
Pembawaan realitas
kematian ke dalam pemberitaan dan atau genre tayangan lainnya ke dalam
media massa merupakan langkah dehumanisasi besar-besaran dalam kereta
komodifikasi manusia. Media sebagai institusi dengan keberagaman
identitas, fungsi dan peran seyogyanya lebih arif memisah-misahkan
antara dirinya ketika menjadi institusi bisnis, institusi informatif,
dan atau institusi pendidikan. Menilik besaran frekuensi masyarakat
dalam berhubungan dengan media, penting bagi media untuk lebih
proporsional dalam konteks perannya sebagai institusi pendidikan.
Karena, perspektif psikologi maupun sosial-budaya sebuah masyarakat
sangat mungkin dengan mudah dapat dibangun melalui media massa. Kalau
kita memandang trend busana, gadget, hobby, maupun lifestyle sangat mudah dibangun dari tayangan-tayangan di media massa.
Penting bagi media agar
mampu menampilkan sebuah realitas yang sebenarnya atau realitas otentik
yang penuh dengan kejujuran, bukan semata demi membangun pencitraan.
Menampilkan fenomena kematian secara menyeluruh, fenomena kematian
sebagai sebuah etape dalam perjalanan hidup, sarat makna dan mampu
menjadi wahana hikmah bagi individu lain. Bukan semata sebagai sebuah headline, silih-berganti dan berpijak pada trend atau terikat pada hukum ekonomi pasar. Media hendaknya arif, tidak lagi memetakan selling poin
dalam fenomena kematian dan menyajikannya menjadi sebuah tayangan layak
konsumsi belaka.
Berikan ruang bagi kematian sebagai sebuah fenomena
yang berharga, mulia, dan humanistis.
Media massa memang selalu berada di ruang antara, yaitu menghadirkan realitas otentik (as it) atau menghadirkan realitas rekayasa (as do it).
Sedikit mengabaikan visi-misi, orientasi, dan mekanisme kinerja
masing-masing media massa; adalah sebuah langkah yang kaya
kebermanfaatan apabila media massa ikut berpartisipasi dalam pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya, baik dalam perspektif pengetahuan dan
kemampuan, maupun dalam perspektif humanistis yang lebih bermoral.
Jangan biarkan masyarakat sebagai penikmat media terkatung dan terpaksa
menelaah sendiri antara realitas otentik dan realitas rekayasa, karena
apapun realitas tersebut, mereka adalah literasi yang mampu memperkaya
pengetahuan, kemampuan, dan membangun konstruksi manusia secara utuh.
No comments:
Post a Comment