kandang babi |
Edi Idiot menjaga kampus siang dan malam, tapi ia bukan satpam.
Terutama kalau malam, ia adalah raja yang berkuasa di kegelapan
pohon-pohon rindang, tapi sungguh, ia bukan jin Iprit. Ia seperti kita
juga: suka makan, beol, bercerita, berteriak menyanyikan Obladi Oblada,
atau jika ia sedang tidak bersemangat, ia akan duduk manis menatap jauh
pada segerombolan gadis yang tengah duduk berkerumun: berharap satu
atau dua orang tersingkap roknya.
Ia tinggal di satu sudut fakultas yang nyaman—senyaman kandang babi.
Dulu ruangan itu dipakai untuk mengoperasikan mesin stensil yang
belakangan tergusur setelah penemuan teknologi komputer yang
edan-edanan. Kematian mesin stensil adalah berkat bagi Edi Idiot yang
berharap menghemat banyak dengan pondokan gratis. Di sanalah ia tidur
kalau ngantuk, bercinta kalau punya kekasih, atau mencoba bunuh diri
kalau sedang gila.
Empat tahun telah berlalu, dan itu membuatnya betah tetap tinggal di
kandang babinya; istananya yang paling hebat. Tak ada Induk Semang yang
Bengis yang siap monyong dan melotot jika ia membawa gadis cantik ke
dalam kamarnya (kemudian pintunya dikunci dan mereka berdua menabung
bekal untuk di neraka). Juga tak ada Induk Semang yang Serakah yang akan
menagih uang pondokan (atau uang listrik, atau uang iuran penyemprotan
nyamuk deman berdarah, atau juga sedikit sumbangan untuk langganan
koran). Tapi yang lebih hebat dari semua itu adalah fakta bahwa tak ada
Induk Semang yang Cerewet yang akan melarang dia membuat keributan macam
apa pun bersama sahabat-sahabatnya tercinta.
Hobinya memang membuat keributan yang tak termaafkan induk semang
mana pun. Bernyanyi keras-keras diiringi petikan gitar yang sebenarnya
tak pernah nyambung. Atau membacakan puisi-puisi cinta yang memilukan
hati. Atau lain kali ia mengundang beberapa temannya sesama nomaden
(mereka juga tinggal di kandang-kandang babi, atau ada juga yang di
kandang ayam, kandang anjing, atau kandang dedemit, yang tersebar hampir
di setiap sudut universitas) untuk sekedar beranjangsana ke pondokannya
yang, “Aih, maaf, agak berantakan. Maklum pembantu sedang mudik.”
Berkumpul merupakan saat-saat yang paling indah baginya. Dengan sedikit
mabok karena arak putih yang dijual murah di pinggir jalan, mereka
membicarakan kebusukan Hegel dan Heidegger sebebas membicarakan
kebusukan artis-artis porno. Mereka adalah orang-orang kreatif yang tak
pernah membaca Voltaire atau Cervantes namun memunculkan istilah-istilah
inovatif melebihi sastrawan manapun: “Mesin Penjilat Bibir” untuk
pelacur, dan “Pipis Enak” untuk suatu kondisi yang disebut ejakulasi
pada puncak orgasme.
Dialah Edi Idiot. Menyelesaikan sekolah dasar selama sembilan tahun,
sekolah menengah pertama empat tahun, dan sekolah menengah atas selama
lima tahun; hanya Tuhan yang tahu bagaimana orang yang menurut sistem
pendidikan nasional dibilang goblok ini bisa masuk universitas. Itulah
mengapa ia mendapat gelar idiot, semakin terlihat idiot ketika ia kuliah
di filsafat dan tak tahu tanggal berapa Aristoteles lahir! Namun di
atas semuanya, ia sahabat yang menyenangkan: tak pernah malu pinjam
uang, matanya melotot jika bicara dengan seorang gadis yang kebetulan
kancing kemejanya sedikit terbuka, dan tidur di ruang kuliah (ia baik
karena tidak mengganggu sang dosen menjual omongan yang selalu diulang
di setiap semester, bukan?). Ia mudah dikenali dari pandangan pertama:
pakaian yang ia kenakan adalah empat pasang jeans dan kemeja yang
merupakan serangkaian siklus empat mingguan, karena itu selalu tampak
kucel dan jorok kecuali di dua hari minggu pertama. Rambutnya merupakan
satu hal yang jauh lebih mudah dikenali; panjang dengan model rasta
seperti Bob Marley yang dibuat bukan dengan pergi ke salon, atau resep
mandi dengan air laut, atau apalagi dengan beragam ramuan yang tak
meyakinkan, namun sungguh-sungguh menjadi rasta karena ia belum keramas
selama delapan bulan satu minggu tiga hari! Jangan tanya berapa batalion
kutu di kepalanya…
*
Malam hari merupakan saat-saat yang paling merdeka buatnya. Ia bisa
pergi nonton konser lalu pulang menjelang dini hari. Atau kalau tak ada
hiburan di mana pun di segenap pelosok kota, ia dan para sahabatnya
menghibur diri sendiri dengan judi kiu-kiu menggunakan kartu domino.
Awalnya mereka bertaruh dengan duit receh, namun jika kebangkrutan sudah
menghantam, kekasih-kekasih khayalan mulai jadi taruhan. Edi Idiot
doyan mempertaruhkan Ayu Azhari, namun jika ia kalah ia dilarang mengaku
sebagai kekasih Ayu Azhari selama seminggu ke depan… kenyataan tragis
bagi laki-laki yang justru seringkali tak memiliki kekasih yang
sesungguhnya.
Namun jika ia sedang baik hati, ia akan mengingatkan dirinya sendiri, “Edi, sudah jam sembilan malam. Waktunya tidur.”
Ia segera akan membereskan kandang babinya. Ketiga jeans dan ketiga
kemejanya yang tidak sedang dipakai ia gantungkan di paku-paku yang
menancap di dinding. Kemudian ia membersihkan tikar, menggebukinya
dengan sebatang tongkat pendek untuk mengusir debu dan kecoa, sebelum
dihamparkan di pojok kandang babi itu. Bantalnya sudah sangat lembek
sekali, ia temukan dahulu kala di kantor senat mahasiswa, sempat jadi
rebutan dengan seorang temannya yang kini tinggal di gudang lain tak
jauh dari kandang babi mantan gudang stensilnya, namun ia menangkan
setelah bertaruh siapa yang berani masuk ke ruang dosen di pagi hari
sebelum cuci muka. Sementara itu selimutnya merupakan hadiah istimewa
dari kekasihnya di semester kedua; berwarna coklat muda dan ketebalannya
cukup menghangatkan di musim dingin yang sangat ekstrim; suatu
penghibur jika ia mengenang bagaimana cintanya diputuskan oleh gadis
tersebut padahal demi Tuhan bahwa gadis itu jeleknya minta ampun—tak
lebih cantik dari lubang kloset.
Jika semua ritual itu sudah ia laksanakan, ia akan berbaring perlahan
di atas tikar tersebut. Sejenak ia merenung-renung dan berkata pada
diri sendiri:
“Kau kan mahasiswa, sebaiknya membaca satu atau dua menit sebelum tidur.”
Maka ia mengambil satu-satunya buku yang ada di kandang babi itu,
tergeletak di meja kecil tak jauh dari tempat di mana ia berbaring. Buku
itu adalah buku tulis, sudah lecek karena nyaris seumur ia kuliah hanya
itulah buku andalannya. Sambil tiduran, ia membuka dan membaca
catatannya:
“Nasi sayur satu, tempe dua, teh hangat; kopi dan bakwan dua; nasi
pecel satu tambah telur satu dan es teh; nasi sayur tambah tempe satu
dan tahu satu dan jeruk hangat; nasi sayur satu tambah tempe dua dan
kerupuk dua tambah es jeruk; nasi pecel satu, perkedel dua dan kerupuk
satu tambah es teh…” Itu adalah catatan hutangnya pada bu Kantin yang
Gendut di Kantin yang Jorok. Ia akan melanjutkan sebelum benar-benar
tidur: “Belum mengkhawatirkan, pasti bisa aku lunasi.”
Maka tidurlah ia dengan damai, tanpa perlu didongengi dengan cerita Lutung Kasarung atau Bawang Putih dan Bawang Merah.
Ia tak punya jam weker yang akan menjerit membangunkannya di pagi hari.
Ia pun tak pernah merasakan kehangatan sinar matahari pagi menghantam
tubuhnya yang tidur karena jendela kandang babinya selalu tertutup. Maka
satu-satunya tanda bahwa ia harus bangun adalah keributan mahasiswa dan
dosen; saat itu biasanya sudah pukul tujuh pagi.
Ia akan menggeliat-geliat sebentar, lalu bangun dan membuka pintu.
Pak Dekan baru keluar dari mobil, Edi Idiot tersenyum ramah, dan pak
Dekan membalasnya dengan muka masam. Lalu muncul si Cantik adik kelas,
Edi Idiot tersenyum juga, dan si Cantik ngibrit. Ia tak pernah sakit
hati. Ia dengan santai menuju kran air dan cuci muka, dan dengan langkah
seorang pemalas bergerak menuju Kantin yang Jorok untuk memesan kopi
dan nongkrong habis sampai siang hari.
Banyak desas-desus dan omong-kosong bisa didapatkan di Kantin yang
Jorok: misalnya siapa yang paling bertanggung jawab atas perut bunting
Nurul?, atau laki-laki tua berkumis baplang yang manakah yang ternyata
intel dan sedang memantau mahasiswa-mahasiswa yang membahayakan
keselamatan negara?, atau manakah yang perlu dibela: apakah orang Timor
hitam yang pro Indonesia atau orang Timor hitam yang lebih suka merdeka
(namun jelas mereka tak akan membela minoritas keturunan Portugis yang
berkuasa)?, namun di atas tema-tema berat macam begitu, hanya satu yang
bisa membuat mahasiswa-mahasiswa nomaden heboh:
“Konon, rektorat akan melarang kita tidur lagi di kampus.”
Edi Idiot bahkan sukses semaput di belakang pantat bu Kantin yang Gendut.
*
Hal itu benar-benar terjadi di suatu hari. Edi Idiot pulang pada
suatu senja dari sedikit pengembaraan yang agak melelahkan. Ia mendapati
kandang babinya terkunci, dan semua barangnya teronggok di atas kursi
reyot di depan gudang tersebut. Ia panik dan melesat ke ruang satpam
penjaga gedung.
“Si-siapa yang mengunci gudang?” tanyanya, antara marah dan ngeri.
“Mana aku tahu,” kata pak satpam. “Konon mau dijadikan dapur kantin ibu darmawanita.”
“Anjing-anjing itu?”
“Siapa yang anjing?”
“Ya babi-babi itu.”
Apa pun yang terjadi, pak satpam jelas tak bisa mengembalikan istana
hebat itu kepadanya. Edi Idiot berjalan gontai kembali ke kandang yang
terkunci, mengumpulkan barang-barangnya. Ia memasukkan bantal lepetnya
ke dalam tas gendong yang sudah dekil; juga ketiga pasang jeans dan
kemeja kesayangannya. Tikar ia gulung dan simpan di tiang penopang
langit-langit, kapan-kapan ia ambil. Lalu meja kecil… ah, biarkan saja
di situ, siapa tahu ada kemungkinan kembali berkuasa di kandang babi.
Terakhir ia melipat selimut kenangannya dan mengapitnya di ketiak.
Dan, lalu?
Ia berdiri bengong di gerbang fakultas. Ia tak tahu harus ngeloyor ke
mana. Ia tak punya pondokan selama empat tahun ini, dan lebih parah
dari segalanya, ia tak punya uang untuk menyewa pondokan baru. Kakinya
kemudian membawa dia menuju ke gelanggang mahasiswa, tempat di mana
lebih banyak mahasiswa nomaden memanfaatkan ruangan-ruangan yang tak
terpakai di malam hari. Tapi yang ia temukan hanyalah pintu-pintu yang
terkunci, dan gerombolan mahasiswa terusir yang putus asa. Satu-dua anak
mencoba memprovokasi untuk membuat sedikit pemberontakan pada keadaan
yang sungguh tak adil, namun yang lainnya begitu lelah dan ngantuk—dan
kehilangan motivasi—sehingga tak merespon dengan baik. Dan Edi Idiot,
jelas ia lebih suka segera berlalu untuk menemukan satu tempat tidur
yang nyaman di malam ini.
Ia berkeliling dari satu gedung ke gedung lain di segenap pelosok
universitas. Ia memang menemukan teman-teman malamnya, sama-sama
kehilangan harapan, namun tak menemukan ruangan yang layak untuk tempat
tidur. Sampai ketika tengah malam datang, ia tersasar di gedung rektorat
dan menemukan satu pos satpam kosong di sebelah utara. Yeah, bukan
kandang babi memang, pikirnya; kandang monyet pun tak apalah!
Maka tidurlah ia di sana ditemani hantu wanita yang bunuh diri,
dedemit, sundel bolong, dan semua makhluk horor lainnya. Namun semua
keangkeran tempat tersebut tak mengganggu tidurnya sedikitpun. Ia lelap,
selelap paku yang menempel di pintu. Namun di pagi hari, ia terbangun
mendadak ketika seekor anjing kudisan mengendus-endus pantatnya. Anjing
itu sama kagetnya, mundur sedikit, dan terkaing-kaing berlari ketika Edi
Idiot menendangnya dengan penuh nafsu.
Ia sendiri kemudian terduduk, membiarkan cahaya matahari pagi
memandikan tubuhnya. Nafasnya tersenggal-senggal, dan sambil memegang
dada ia berbisik pelan:
“Oh Tuhan, terima kasih. Betapa mengerikan jika anjing sialan itu menyodomiku!”
Ia segera mencangklong tas punggungnya dan mengapit selimutnya, lalu
berjalan pergi ke Kantin yang Jorok untuk mendapat segelas kopi
sebagaimana biasa. Semua itu kemudian menjadi rutinitas barunya; tidur
di kandang monyet ditemani makhluk-makluk horor, lalu terbangun
dipermainkan anjing buduk pengendus. Selain itu pemandangan ini menjadi
pemandangan umum di setiap pagi selama beberapa hari: seorang pemuda
kurus kerempeng berambut rasta berjalan dari gedung rektorat ke Kantin
yang Jorok sambil menggendong tas punggung berisi pakaian dan bantal dan
di tangan kirinya mengapit selimut coklat muda. Dialah kawan kita si
Edi Idiot yang karena nasib harus memerankan antagonis yang menyedihkan
seperti itu.
Namun ternyata, bukan hanya orang-orang yang berpapasan dengannya
saja yang kemudian merasa bersimpati dan kasihan; ia sendiri mulai
mengkhawatirkan dirinya sendiri. Ia mulai menghitung-hitung buruknya
tidur di kandang monyet itu; dalam satu atau dua bulan ke depan bisa
dipastikan ia terserang paru-paru basah yang akut. Selain itu, meskipun
ia punya selimut tebal kenangan, udara dingin di kandang yang tak punya
dinding itu bisa membuatnya terserang rematik; alasan kuat untuk
menyongsong hari tua yang mengerikan. Ia juga mengkhawatirkan gangguan
makhluk-makhluk horor itu lama-kelamaan memberi trauma buruk pada
kejiwaannya. Tapi yang paling membuatnya cemas adalah kengeriannya pada
kemungkinan terburuk ini: suatu pagi anjing buduk itu benar-benar
berhasil menyodominya!
Sambil minum kopi di Kantin yang Jorok ia menghitung sisa uangnya:
ada tiga ribu empat ratus perak. Ia mencoba memikirkan banyak cara
bagaimana melipatgandakan uang sekecil itu agar bisa menyewa pondokan
barang satu atau dua bulan saja. Namun jiwa kapitalistik tak
sungguh-sungguh mampir di otaknya yang bebal; yang terpikirkan adalah
mempertaruhkan uang itu di meja judi kiu-kiu. Ia segera menukar uangnya
dengan recehan seratus perak pada bu Kantin yang Gendut, dan segera
kembali ke fakultas mengumpulkan teman-teman perjudiannya. Permainan
berlangsung alot di belakang kantin, di mana dosen-dosen yang sok usil
ikut campur urusan orang lain tak akan melihat kelakukan biadab mereka.
Di setengah jam pertama, Edi Idiot bisa mengumpulkan keuntungan enam
ratus perak, namun ketika permainan berlangsung lebih lama, ia mulai
kehilangan receh demi receh hingga temannya yang lebih jago judi
benar-benar menghabiskan seluruh modalnya.
Edi Idiot masih penasaran dan menjerit:
“Jalan terus!”
“Kau bertaruh dengan apa?”
“Apa boleh buat, kutawarkan Ayu Azhari.”
“Mana bisa, tiga hari yang lalu Ayu Azhari sudah dipasang dan kau kalah.”
“Kalau begitu Sarah Azhari.”
“Ngawur, dia bukan kekasihmu.”
“Peduli amat.”
“Kau mulai curang. Ayo, bubar!”
“Tapi…”
Teman-temannya sudah bubar dan pergi ke segala penjuru. Tinggal Edi
Idiot yang mulai putus asa memikirkan bagaimana caranya memperoleh uang
untuk menyewa pondokan baru. Pondokan yang aman dari pelecehan seksual
anjing kudisan.
*
Selama beberapa waktu ia mencoba mengamen di perempatan jalan, namun
hasilnya jauh dari cukup untuk mencapai cita-citanya punya pondokan
baru. Ia bahkan pernah tergoda untuk melakukan sedikit pencurian; namun
nyali kecilnya ciut ketika membaca berita di koran yang menyebutkan
seorang pencuri dibakar massa beramai-ramai. Hasilnya, Edi Idiot mulai
tampak redup. Romannya yang riang dan seringkali menghibur
sahabat-sahabatnya mulai tampak jauh lebih tua. Ia menjadi seorang
perenung, tapi jelas bukan filsuf. Sering berdeklamasi seorang diri,
namun jelas bukan penyair juga, mungkin hanya karena kegilaannya sedikit
sedang kumat.
Ia juga mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk bunuh diri.
Atau kadang terpikir untuk pulang ke kampung halaman, menyerah pada
semua usahanya untuk jadi seorang sarjana yang dihormati. Namun semuanya
tidak ia lakukan. Ia masih mencintai universitasnya, kotanya, dan juga
para sahabatnya. Ia harus bisa bertahan, betapapun menyedihkannya hidup
yang harus ia lakoni.
Kadang ia merasa betapa ruginya dia: hidup di dunia dalam keadaan
buruk, dan kalau mati kemungkinan besar masuk neraka. Namun
kemurungannya berubah seketika saat di suatu pagi, ketika ia sedang
berjalan dari gedung rektorat menuju Kantin yang Jorok sambil
menggendong tas punggung dan mengapit selimut pemberian mantan
kekasihnya, ia bertemu seorang gadis di tengah jalan. Namanya Widy,
sahabatnya satu angkatan namun nasib membuat jalan hidup keduanya
berbeda. Widy sudah menyelesaikan kuliah dan sekarang bahkan sudah
menjadi dosen di fakultasnya sendiri.
“Oh, Sahabatku, Widy, apa kabar?” Edi Idiot dengan muka yang ceria menghampirinya dan menjabat tangan.
Widy yang sedang dalam perjalanan ke kantor dosen menatapnya dengan prihatin. “Aduh, Edi, sudah berapa lama kau tidak mandi?”
“Ah, Sahabatku, jangan tanyakan soal itu. Ngomong-ngomong, kau jarang terlihat akhir-akhir ini?”
“Aku? Seandainya kau rajin masuk kuliah, setidaknya aku mengajar kau satu minggu sekali.”
“Aku jadi malu.”
“Kau tampaknya lapar, mau kutraktir?” tanya Widy.
“Demi Tuhan, aku menunggu tawaran seperti itu.”
Mereka kemudian mampir di Kantin yang Jorok sekedar melepas rindu
sebagai dua sahabat yang lama tak berjumpa. Sarapan bersama sambil
bicara mengenai banyak hal. Teman kita yang botak, si Agus, sekarang di
mana? Aha, dia sudah kerja di Jakarta. Ya, betul, si Iwan sudah jadi
wartawan, hebat betul dia. Dan Sinta, kudengar dia sudah kawin; punya
anak tapi kemudian cerai, nasibnya agak malang. Aku tak tahu kalau soal
Andi, katanya dia pergi ke Kalimantan; ya goblok sekali dia, kuliahnya
ditinggal begitu saja, mungkin bisnis, tapi setahuku bisnis apapun dia
selalu gagal. Dan kau? Masya Allah, hanya tinggal kau angkatan kita yang
masih bertahan jadi mahasiswa?
Edi Idiot tersenyum dan bertanya:
“Dengar-dengar kau mau kawin?”
Widy tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja,” katanya. “Sekarang masih nabung-nabung buat rumah dan tetek-bengeknya.”
“Kupikir kau mau tunggu aku.”
“Sayang kau terlambat.”
Edi Idiot menyelesaikan sarapannya dengan perasaan puas, karena untuk
pertama kali setelah beberapa waktu, ia boleh mengambil porsi makan
sebanyak yang ia suka. “Tapi ngomong-ngomong,” katanya. “Kalau di hari
perkawinan calon suamimu minggat, aku tak keberatan jadi pengganti.”
Widy tertawa dan menjawab, “Aku pertimbangkan.”
Mata Edi Idiot berbinar-binar menatap sahabatnya. Bukan, bukan karena
harapan pada kemungkinan menjadi pengganti calon suami yang minggat,
tapi karena ia menganggap saat inilah saat yang tepat untuk menyerang
Widy dengan satu permintaan yang selama makan ia persiapkan:
“Sahabatku,” katanya pelan, takut terdengar penghuni Kantin yang
Jorok yang lain. “Untuk sahabatmu yang malang dan mengibakan ini, maukah
kau pinjami aku uang?”
“Kau pinjam uang?”
“Jangan keras-keras, Sayang… ya, itulah yang aku maksud.”
“Kau tidak dalam kesulitan besar, kan?”
Edi Idiot bercelingukan, lalu menatap sahabatnya lagi. Matanya
sedikit berkaca-kaca (aduh, tak terkira dia agak cengeng juga). Lalu
perlahan-lahan mengadu, “Kau tahu kan aku tinggal di kandang babi.”
“Kandang babi di fakultas peternakan?”
“Maksudku gudang bekas tempat mesin stensil.”
“Semua orang sudah tahu.”
“Tapi sekarang aku sudah tidak tinggal di sana.”
“Pantas saja aku jarang lihat kau.”
“Pihak universitas melarang kami tinggal di kampus lagi. Aku sekarang
tinggal di kandang monyet, ditemani genderwo dan kuntilanak, serta
dikeloni anjing kudisan.”
“Di mana pula itu?”
“Pos satpam dekat gedung rektorat.”
“Oh Tuhan, itu mengerikan, Sayang.”
“Ya, begitulah,” kata Edi Idiot. Dan dengan semangat ia
mendramatisir, “Aku mulai menderita paru-paru basah, mungkin juga demam
berdarah dan gagal jantung. Bahkan aku menduga aku sudah kehilangan satu
ginjal. Aku khawatir lebih lama di sana bisa terkena AIDS juga.”
“Sebaiknya kau menyewa pondokan saja.”
Ini dia! Dengan sedikit menahan diri, Edi Idiot berbisik, “Itulah
mengapa aku mau pinjam duit ke kau. Atau kalaupun kau tak punya duit,
setidaknya kau sudi berbagi tempat tidur denganku.”
“Ah, aku lebih suka meminjami uang.”
“Itu pun tak apa.”
“Tapi aku cuma bawa seratus ribu perak.”
“Itu lebih dari cukup.”
Transaksi berjalan dengan diam-diam. Selama itu berlangsung, Edi
Idiot beribu kali mengucapkan terima kasih. Kau memang sahabat sejati,
Widy. Semoga kau tambah cantik selalu, katanya. Semoga kau cepat naik
pangkat—kalau perlu jadi rektor yang berpihak pada mahasiswa-mahasiswa
malang seperti dirinya. Semoga amal-ibadahnya diterima Tuhan, dan semoga
kau tertarik menjadikan aku sebagai suamimu.
Widy hanya tersenyum dengan segala puja-puji itu, dan berkata bahwa ia harus segera masuk ruang kuliah untuk mengajar.
“Ya, ya, selamat jalan, Sahabatku!”
Widy berlalu dan Edi Idiot melambaikan tangannya dengan bahagia.
Kini ada uang seratus ribu di tangannya. Edi Idiot termenung-menung
seorang diri di Kantin yang Jorok yang hiruk-pikuk itu. Yeah, cukup
untuk menyewa kamar dua bulan, pikirnya. Mungkin tiga bulan, kalau mau
mencari yang agak jauh dari kampus. Ia mulai mempertimbangkan hal-hal
tersebut. Yeah, ia bakal punya Induk Semang yang Bengis, juga Induk
Semang yang Rakus, dan tentunya Induk Semang yang Cerewet. Kecil
kemungkinan memperoleh Induk Semang yang Pemurah.
Jika ia punya pondokan, ia tak boleh lagi berteriak sesuka hati di
tengah malam. Juga pasti dilarang keras mabok. Lebih mengerikan kalau
ada aturan harus pulang jam sembilan. Ngomong-ngomong, ia jadi ragu dan
ngeri memikirkan harus punya rumah pondokan.
Namun bagaimana lagi? Sahabatnya yang baik itu sudah meminjami dia
uang, dan duit tersebut kini tergenggam erat di tangannya. Dan lagi
pula, adalah mengerikan terus-menerus tinggal di kandang monyet: ia bisa
mati memalukan.
Ketika sedang memikirkan hal itu, matanya menatap bu Kantin yang
Gendut. Ia sedang melayani seorang pembeli. “Satu atau separoh? Pakai
sayur? Oh, pecel.” Kemudian pembeli yang lain. “Dengan apa? Nasi sayur
tambah telur goreng, tempe dua dan es teh, dua ribu lima ratus. Terima
kasih.” Edi Idiot tiba-tiba teringat sesuatu. Ia membuka tasnya dan
menemukan buku catatan itu. Ketika bu Kantin yang Gendut sedang
beristirahat tanpa gangguan satu pembeli pun, Edi Idiot menghampirinya.
“Ini hutangku,” kata Edi Idiot pelan-pelan dan malu-malu.
Bu Kantin yang Gendut menghitungnya, dan Edi Idiot kehilangan lebih dari separoh uang yang dipegangnya.
Namun ia bahagia sekali bisa melunasi hutang itu. Ia berjalan ke
sana-ke mari sambil bersiul-siul. Lagu-lagu riang kembali muncul di
mulutnya. Ia telah lupa pada rencana punya pondokan. Lalu apa yang telah
merasuk di otaknya? Apakah ia memiliki suatu rencana yang gemilang.
Begitulah. Di sore hari, ia membayar seorang tukang kunci untuk membuka
pintu kandang babinya. Dan di malam hari ia menghabiskan uangnya dengan
membeli arak putih murahan dan sekeresek nasi bungkus dari warung
angkringan serta mengundang seluruh sahabat malamnya. Mereka pesta
gila-gilaan, bernyanyi dan mabok serta kembali tertidur dengan penuh
kedamaian. Sebelum benar-benar tertidur, Edi Idiot tak lupa berdoa,
“Semoga bisa melunasi hutang pada Widy… Grok, grok, grok.”
* * *
No comments:
Post a Comment