An effervescing elephant
with tiny eyes, and great big trunk
once whispered to the tiny ears
the ears of one inferior
that by next June he’d die, oh yeah!
because the tiger would roam
and the little one said oh my goodness I must stay at home
and everytime I hear a growl
I’ll know the tiger’s on the prowl
and I’ll be really safe you know
The elephant he told me so
And everyone was nervy, oh yeah!
and the message was spread
to zebra, mongoose, and the dirty hippopotamus
who wallowed in the mud and chewed
his spicy hippoplankton food
and tended to ignore the word
prefering to survey a herd
of stupid water bison, oh yeah!
and the jungle took fright
and ran around for all the day and the night
but all in vain because you see
the tiger came and said to me,
“You know I wouldn’t hurt not one of you
I much prefer something to chew
you’re all too scant, oh yeah!”
He ate the elephant…
with tiny eyes, and great big trunk
once whispered to the tiny ears
the ears of one inferior
that by next June he’d die, oh yeah!
because the tiger would roam
and the little one said oh my goodness I must stay at home
and everytime I hear a growl
I’ll know the tiger’s on the prowl
and I’ll be really safe you know
The elephant he told me so
And everyone was nervy, oh yeah!
and the message was spread
to zebra, mongoose, and the dirty hippopotamus
who wallowed in the mud and chewed
his spicy hippoplankton food
and tended to ignore the word
prefering to survey a herd
of stupid water bison, oh yeah!
and the jungle took fright
and ran around for all the day and the night
but all in vain because you see
the tiger came and said to me,
“You know I wouldn’t hurt not one of you
I much prefer something to chew
you’re all too scant, oh yeah!”
He ate the elephant…
—lagu “Effervescing Elephant”, Syd Barrett, album Barrett (1970).
Saya tak begitu ingat apa saja yang saya lakukan di usia 16 tahun.
Itu sudah bertahun-tahun silam. Mungkin membolak-balik majalah HAI,
karena masih ada cerbung bubin LantanG di sana, dan saya suka. Mungkin
sedang berusaha (terlalu) keras menyatakan cinta monyet pertama saya,
deg-degan dan malu-malu. Dan saya mulai menulis. Puisi-puisi norak atau sekadar kata-kata hati
yang tak tersampaikan. Saya menulis apapun, selain lagu. Ya, selain
lagu. Sementara Syd Barrett, sudah menulis lagu sejak usia 16 tahun. Dan
dia jenius.
Tentu saja lancang dan tolol sekali membandingkan diri saya dengan
dia. Saya bukan otak kreatif awal Pink Floyd untuk kemudian dipecat dari
sana (bahkan saya tidak pernah punya band, karena saya tak bisa bermain
instrumen apapun selain seruling, dan itu pun hanya satu lagu, “Ibu
Kita Kartini”!), saya bukan seorang Capricorn, saya tidak mengonsumsi
LSD tiga sampai empat kali sehari, dan saya tak pernah secara resmi
dinyatakan gila. Setidaknya psikiater saya belum sampai hati
mengatakannya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, secara tak sengaja saya
mendengar satu lagu Syd Barrett di sebuah toko musik. Dan kebetulan umur saya juga 16 tahun waktu
itu. Ada perasaan merinding yang janggal, murung sekaligus senang, rasa
penasaran menjalari kepala saya, atau kombinasi yang aneh dari semua
itu. Sesuatu yang misterius. Semacam perasaan yang sukar dijelaskan.
Sejak saat itu saya resmi menjadi penggemar.
Lagu itu adalah “Effervescing Elephant”. Sebagai closing track
dari album solo keduanya (yang kemudian menjadi album terakhirnya), itu
justru termasuk lagu paling awal yang pernah Syd tulis, ketika masih
berumur 16 tahun. Tentu saja ini bukan komposisi terbaiknya, tapi lagu
tersebut sangat berarti bagi saya. Dinyanyikan hanya dengan iringan
gitar kopong, nada lagu ini terdengar riang sekaligus ganjil, sepintas
seperti progresi lagu mars untuk anak-anak. Liriknya pun terkesan
kekanak-kanakan, meski sebenarnya tidak. Dia memang bercerita soal
binatang, sejenis fabel. Namun fabel macam apa, dengan pesan jenis apa,
yang keluar dari kepala seorang jenius gila seperti Syd?
Sedikit berbeda dari kebanyakan lirik Syd lainnya yang rumit dan
sulit dimengerti, “Effervescing Elephant” sebenarnya cukup mudah. Dan
tumben struktur dramatiknya jelas. Seperti ada logika bertutur yang
dipatuhi, semacam pola Struktur Tiga Babak. Pertama, Perkenalan Karakter
dan Masalah. Tersebutlah seekor Gajah, (perhatikan deskripsinya yang
teliti “…with tiny eyes and great big trunk…“) sedang
menyampaikan kekhawatiran tentang kehidupan hutan yang ganas, kepada
rekannya sesama gajah yang lebih junior. Hukum rimba berlaku mutlak:
siapa kuat, dia bertahan. Dan itu selalu berarti soal siapa memangsa
siapa. Dan Harimau, tentu saja, adalah ancaman besar bagi mereka. Gajah
Kecil jelas ketakutan, “…oh my goodness I must stay at home!”, tapi lagi-lagi, rumah macam apa, di tengah hutan, yang sanggup melindungi binatang dari kejamnya predator alam bebas?
Masuklah babak kedua, Intensifikasi Masalah. Maka ketika Harimau datang, seisi hutan pun tegang. “…and everytime I hear a growl, I’ll know the tiger’s on the prowl.”
Saya membayangkan sesosok loreng dengan otot-otot kaki yang ramping dan
lentur, berjalan melenggang. Ya, hanya melenggang. Itu pun sudah cukup
membuat sekumpulan binatang resah bukan main, dan mau tak mau mereka
harus tetap bergerombol jika ingin selamat dari terkaman sang pemangsa
(apakah Syd sedang menyindir konsep agung “manusia adalah makhluk
sosial” sekaligus homo homini lupus?). Sederetan nama binatang
Syd sebutkan, mulai dari Zebra, Mongoose, hingga Kuda Nil pemalas yang
gemar berkubang dan mengunyah “his spicy hippoplankton food“.
Diksi yang amat jeli. Bahkan Greg Graffin, vokalis Bad Religion yang
juga profesor biologi di UCLA, rasanya tidak akan pernah terpikir
memakai kata ‘hippoplankton‘ untuk sebuah lirik lagu.
Syd terus menggenjreng gitarnya, bernyanyi dengan suara tak stabil: seperti terlalu rendah saat mengambil nada awal, lalu falsetto
di beberapa bagian, untuk kemudian nyaris tercekik kehabisan nafas di
bagian lain. Dan tibalah penghujung cerita, Penyelesaian Masalah. “…and the jungle took fright/ and ran around for all the day and the night.”
Siapa akhirnya yang menjadi santapan Harimau? Kepada siapa Nasib Buruk
akan ditimpakan oleh Sang Penguasa? Ketakutan seluruh penghuni rimba
sempat terhapus oleh Sabda Raja Hutan: “You know, I wouldn’t hurt one of you.” (Yeah, seperti dalam hidup, harapan seringkali muncul, bukan?) Tapi tunggu dulu, “I’d much prefer something to chew.”
(Oh sial, harapan palsu, mulai dibanting.) Pada akhirnya, well, baca
saja sendiri kalimat terakhir lirik di atas, ada baiknya setelah Anda
selesai mengunduh lagu tersebut di Limewire.
Setiap lagu itu selesai diputar, saya selalu diam termenung. Syd
menyisakan 15 detik di akhir lagu hanya dengan suasana sepi, hanya ada
suara jengkerik di gelapnya malam, dan sayup-sayup terdengar dari
kejauhan, lolongan binatang kesakitan. Saya curiga Syd tak sekadar
membicarakan binatang semata-mata. Dia sedang membahas sesuatu yang
lebih besar, hal-hal yang tak pernah selesai, lebih subtil, hal-hal yang
susah dijelaskan. Pada titik tertentu dalam hidup, seberapa percaya
Anda terhadap Takdir (dengan ‘T’ besar), berikut segala usaha
mengakalinya? Dan hebatnya, segala narasi itu dikemas Syd secara ringkas
hanya dalam durasi lagu 1 menit 52 detik. Segala ironi dan kesia-siaan
bertahan itu. Nada datar, progesi tak terduga, tanpa reffrain, 173 kata yang padat berisi, dan setiap bait hanya dinyanyikan sekali.
Entah kenapa kalimat terakhir lagu itu selalu mengingatkan saya pada baris puisi Chairil Anwar yang terkenal, “sekali berarti sudah itu mati“.
Bisa jadi hidup yang sialan ini memang seperti itu: dia hanya sekali,
dan tak lebih dari sekumpulan ironi atas hal-hal percuma. Mungkin tak
masuk akal, tapi saya menangkap ada kemiripan di situ: keduanya
sama-sama berusaha tetap optimis dari awal, meski sekaligus tahu betul
betapa semuanya akan selalu berakhir tragis. Seberapa jauh kita sanggup
menyiasatinya, untuk kemudian tetap tunduk takluk tak berdaya? Logika
ironi selalu diramu dari bahan-bahan menyebalkan seperti itu. Chairil
berharap panjang umur (“aku mau hidup seribu tahun lagi“), tapi
toh penyakit TBC menghentikannya di angka 27. Sementara di lagu “Dark
Globe”, komposisi terbaiknya menurut saya, Syd menyanyi dengan
tenggorokan sedih luar biasa, “Won’t you miss me?/ Wouldn’t you miss me at all?” Dan kita tahu, karir musiknya yang brilian terpaksa terhenti di rentang waktu sangat pendek, setelah dinyatakan sebagai ‘an incurable mad man‘
oleh dokter jiwa, untuk kemudian menghabiskan sisa hidupnya sebagai
orang gila (dalam arti harfiah) dan tinggal di rumah ibunya hingga akhir
hayatnya. Sering terlintas di benak saya, apa jadinya jika Chairil dan
Syd, yang sama-sama tertarik tema kesepian transendental, hidup di zaman
sama dan berkolaborasi? Seperti apa Chairil (dia penerjemah andal)
mengalihbahasakan lirik lagu Syd “when I was alone/ you promised the stone from your heart“? Dengan nada minor macam apa Syd menyanyikan baris puisi Chairil “aku ini binatang jalang/ dari kumpulannya terbuang“?
Ya, saya selalu kagum pada mereka yang demikian fasih perihal
binatang-binatang sebagai metafor. Selain lagu di atas, beragam satwa
bertebaran di karya-karya Syd Barrett, mulai dari Angsa, Burung,
Serigala, hingga Cumi-cumi. Bahkan di salah satu sampul albumnya,
tergambar bermacam-macam Serangga.
----------------------------------------
A Tribute to Syd Barrett
Roger Keith "Syd" Barrett was born on 6th January 1946
in Cambridge. He is best remembered as one of the founding members of
the group Pink Floyd, and was active as a rock
musician for only a few years, before mental problems forced him into
obscurity, but he has been remarkably influential. Pink Floyd
(originally called both "Tea Set" and "The Pink Floyd Sound", then later
"The Pink Floyd") was formed in 1965.
No comments:
Post a Comment