Soe Hok Gie bilang, “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah yang berumur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Rasa-rasanya, bagi seorang filsuf Yunani itu dan seorang pemikir seperti Gie, hidup memang tak terlalu menarik. Hambar, penuh kepalsuan, dan cenderung membosankan. Gie mengatakan bahwa dia seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. “Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.” Begitu ia memimpikan sebuah hidup yang ideal.
Saya dan Anda tentu pernah dilanda kebosanan hidup maha dahsyat yang membuat kita ingin lekas-lekas menyudahi hidup di dunia ini. Tak apa, hal seperti itu wajar. Jangankan kita yang hidup biasa-biasa saja, bahkan seorang Kurt Cobain yang hidupnya begitu mentereng, bergelimang cinta, begitu dielu-elukan penggemar, dan dipuja-puji bak dewa pun mengalami kesunyian tak terpermanai yang bikin hidupnya tak ubahnya sebuah perjalanan menunda kekalahan semata, begitu kira-kira kata Chairil Anwar. Biar bagaimana pun Anda menunda-nunda mati, maut selalu mengintai. Kapan pun, di mana pun, dengan cara apa pun.
Maka ketimbang mati di usia tua, di mana semakin menua hidup akan lebih menyedihkan karena semakin sering kita menjadi saksi kematian-kematian orang tercinta, Kurt melalui surat kematiannya yang mengutip lirik lagu Neil Young berjudul My My, Hey Hey (Out of the Blue) mengatakan, ‘Lebih baik terbakar habis daripada memudar,’ ia pun memilih mati muda, sebagaimana Chairil yang oleh kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw, disebut-sebut menyadari dirinya akan mati muda, yang memilih mati muda dengan berlindung di balik frasenya yang sangat terkenal, ‘Sekali berarti sudah itu mati.’
Gie, Kurt, atau Chairil, punya kesamaan yang tegas. Sama-sama mati di usia muda. Sekitar 27 tahun. Selain mereka, kita tentu mengenal orang-orang hebat yang mati di usia tersebut. Ada Jimi Hendrix, gitaris yang disebut-sebut sebagai gitaris terbaik dalam sejarah musik dunia yang kematiannya menyisakan misteri, entah dibunuh, entah overdosis oleh sebab mengonsumsi obat-obatan terlarang untuk menghilangkan rasa depresinya. Lalu ada Brian Jones, salah satu pendiri grup band legendaris Rolling Stones yang dikenal dengan permainan gitar dan harmonikanya yang brilian, ditemukan tewas di kolam renang di kediamannya sebulan setelah ia dikeluarkan dari Rolling Stones. Penyebab kematiannya diyakini akibat penyalahgunaan obat terlarang secara berlebihan. Hati dan liver Jones membengkak akibat obat-obatan dan alkohol. Lalu ada Janis Joplin, si Ratu Rock and Roll yang mengakhiri hidupnya dengan mengonsumsi heroin berlebihan. Kemudian Jim Morrison, pendiri dan vokalis utama The Doors yang dikenal dengan improvisasinya dan puisi-puisinya yang kerap dibacakan di atas panggung, meninggal misterius dan saking misteriusnya sampai-sampai tim yang dipanggil untuk menyelidiki kematian Jim, melalui sertifikat kematian yang dikeluarkannya cuma menyimpulkan bahwa Jim mati lantaran jantungnya berhenti berdenyut. Sebuah kesimpulan yang tidak membantu apa pun. Toh semua orang mati pastilah jantungnya berhenti bekerja.
Chairil dan Gie adalah dua orang berpengaruh di Indonesia yang sama-sama meninggal menjelang usia ke 27. Tak ubahnya dengan Chairil yang melalui puisi-puisi kematiannya seperti puisi Jang Terampas Dan Jang Putus yang diidentifikasi sebagai sebuah keinginan mati muda, Gie yang meninggal dunia akibat menghirup gas beracun di gunung Semeru, sehari sebelum ulang tahunnya ke 27, pun sebenarnya menyadari bahwa dirinya akan mati muda. Tertuang jelas dalam catatannya ia mengatakan, “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya,” atau kebingungannya dalam melihat kehidupan yang ia tulis, “Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan … Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.” atau saat ia mengakhiri salah satu puisinya dengan kalimat, “Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu.” Keduanya, Chairil dan Gie, memandang hidup sebagai sebuah batu loncatan yang tak perlu lama-lama dipijak, sebab sejatinya hidup di dunia ini fana belaka.
Kurt yang datang dari sebuah keluarga yang hampir sama seperti Chairil, yaitu dari keluarga yang orang tuanya bercerai, adalah yang paling naas. Ironis, ia mati di tengah-tengah karirnya yang sedang memuncak. Tak jua karir, tak pula anak dan istri, tak jua teman-teman, semuanya tak dapat menghindarkannya dari hasratnya yang memuncak untuk mengakhiri hidup. Kurt, yang oleh saudara perempuannya terungkap bahwa ketika masih anak-anak, pernah menyatakan ingin bergabung ke dalam Club 27, tewas tidak cuma oleh obat-obatan terlarang, tapi juga oleh sebuah senapan berburu berbobot berat yang melubangi langit-langit mulutnya. Ia mati kesepian di dalam ramai yang tak pernah ia bisa nikmati. Kematiannya pun ditangisi oleh berjuta-juta manusia yang menganggap Kurt sebagai pahlawan remaja pada saat itu, yang memujanya sebagai sebuah simbol pemberontakan, lambang anti-kemapanan.
Kecenderungan akan kematian Kurt juga terungkap pada sebuah percakapan dengan seorang temannya John Fields, di mana Kurt mengatakan bahwa ia ingin menjadi musisi terkenal dan kemudian mati bunuh diri di tengah kesohorannya. Dan benar, sebelum benar-benar tiba hari kematiannya, Kurt mengalami overdosis parah, dan ini merupakan usaha bunuh diri Kurt yang gagal. Dalam secarik kertas di genggamannya, Kurt menulis, “Dr. Baker bilang, aku harus memilih antara kehidupan atau kematian. Seperti Hamlet, aku memilih kematian.” Kabar kematian Kurt pun menyebar di kalangan media dan penggemar di seluruh dunia. CNN bahkan sempat memberitakan bahwa Kurt Cobain sudah tewas. Meski demikian, Kurt masih menuruti saran orang- orang terdekatnya untuk mengikuti program rehabilitasi.
Hamlet sendiri adalah sandiwara tragedi karya William Shakespeare. Seperti karya-karya tragedi lainnya milik Shakespeare macam Romeo dan Juliet, atau Troilus dan Cressida, cerita menyuguhkan kematian tragis sang tokoh utama.
Sebulan setelah peristiwa itu, hasrat untuk mengakhiri hidup tak terbendung lagi. Kurt ditemukan tewas oleh seorang tukang listrik yang menemukan tubuhnya di rumahnya di Lake Washington ketika si tukang listrik itu datang untuk melakukan pemasangan security system. Tukang listrik itu mengira Kurt sedang tidur sampai ia melihat sebuah senjata api berjenis Remington yang mengarah ke dagunya. Sebuah surat kematian berada bersamanya. Di sana, Kurt menulis;
“Karena ditulis oleh seorang tolol kelas berat yang jelas-jelas lebih pantas menjadi seorang pengeluh yang lemah dan kekanak-kanakan, surat ini seharusnya mudah dipahami. Semua peringatan dari pelajaran-pelajaran punk-rock selama bertahun-tahun. Setelah perkenalan pertamaku dengan, mungkin bisa dibilang, nilai-nilai yang terikat dengan kebebasan dan keberadaan komunitas kita ternyata terbukti sangat tepat. Sudah terlalu lama aku tidak lagi merasakan kesenangan dalam mendengarkan dan juga menciptakan lagu sama halnya seperti ketika aku membaca dan menulis. Tak bisa dilukiskan lagi betapa merasa bersalahnya aku atas hal-hal tersebut. Contohnya, sewaktu kita bersiap berada di belakang panggung dan lampu-lampu mulai dipadamkan dan penonton mulai berteriak histeris, hal itu tidak mempengaruhiku, layaknya Freddie Mercury, yang tampaknya menyukai, menikmati cinta dan pemujaan penonton. Sesuatu yang membuatku benar-benar kagum dan iri. Masalahnya, aku tak bisa membohongi kalian, semuanya saja. Itu tak adil bagiku atau pun kalian. Kejahatan terbesar yang pernah kulakukan adalah menipu kalian dengan memalsukan kenyataan dan berpura-pura bahwa aku 100 persen menikmati saat-saat di atas panggung. Kadang aku merasa bahwa aku harus dipaksa untuk naik ke panggung. Dan aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk menghargai paksaan itu, sungguh, Tuhan percayalah kalau aku sungguh-sungguh melakukan itu, tapi ternyata itu tidak cukup. Aku menerima kenyataan bahwa aku dan kami telah mempengaruhi dan menghibur banyak orang. Tapi, aku hanya seorang narsis yang hanya menghargai sesuatu jika sesuatu itu sudah tidak ada lagi. Aku terlalu peka. Aku butuh sedikit rasa untuk bisa merasakan kembali kesenangan yang aku miliki saat kecil. Dalam tiga tur terakhir kami, aku mempunyai penghargaan yang lebih baik terhadap orang-orang. Saking cintanya, itu membuatku merasa sangat sedih. Aku adalah Jesus man, seorang Pisces yang lemah, peka, tidak tahu terima kasih, dan menyedihkan. Kenapa kamu tak menikmatinya saja? Tidak tahu. Aku punya istri yang bagaikan dewi yang berkeringat ambisi dan empati dan seorang putri yang mengingatkanku akan diriku sendiri di masa lalu. Penuh cinta dan selalu gembira, mencium siapa saja yang dia ditemui karena menurutnya semua orang baik dan tidak akan menyakitinya. Itu membuatku ketakutan sampai-sampai aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak bisa membayangkan Frances tumbuh menjadi rocker busuk yang suka menghancurkan diri sendiri dan menyedihkan seperti aku sekarang. Aku bisa menerimanya dengan baik, sangat baik, dan aku bersyukur, tapi aku telah mulai membenci semua orang sejak aku berumur tujuh tahun. Hanya karena mereka terlihat begitu mudah bergaul, dan berempati. Empati! Aku pikir itu disebabkan karena cinta dan perasaanku yang terlalu besar pada orang-orang. Dari dasar perut mualku yang serasa terbakar, aku ucapkan terima kasih atas surat dan perhatian kalian selama ini. Aku hanyalah seorang anak yang angin-anginan dan plin-plan! Sudah tidak ada semangat yang tersisa dalam diriku. Jadi ingatlah, lebih baik terbakar habis, daripada memudar.”
Kali ini Kurt Cobain benar-benar berhasil mewujudkan keinginannya. Tak ada yang bisa menyelamatkan nyawanya kali ini (dalam kasus orang bunuh diri, menyelamatkan nyawa orang tersebut saya kira tidak bisa disebut menyelamatkan, barangkali itu tindakan menjerumuskan dan memaksanya untuk tetap hidup). Ia tewas dan ditemukan beberapa hari setelah kematiannya. Dunia berkabung. Di Indonesia, kata teman saya, pada waktu itu sebuah koran menulis, ‘Kurt Cobain Bunuh Diri’, teman saya menerjemahkannya sebagai Kurt mencoba bunuh diri (lagi), maka ia tak percaya sampai benar-benar membaca isi berita itu. Ia pun berduka.
Saya dan Anda yang tidak terlalu tertarik hidup sampai menua, kalau tak mau dikatakan bosan dengan hidup, bolehlah mengambil sedikit pelajaran dari kisah hidup dan kematian dari Chairil, Gie, Kurt, dan lain-lain (saya tidak tahu kenapa kematian justru menginspirasi saya menulis ini). Hidup panjang memang terlihat membosankan, tapi ketahuilah, satu-satunya melawan kebosanan adalah dengan menjalaninya. Begitu pepatah Tiongkok mengatakan.
Anda yang sudah melewati usia 27, yang saya sebut usia keemasan, di mana kontemplasi, frustasi, depresi, perenungan, dan karut-marut pikiran berlomba-lomba membunuh si empunya usia, adalah orang yang berhasil melewati fase itu. Ada dua orang yang berhasil melewati usia keemasan itu. Yang pertama adalah yang menjalani hidup tertatih-tatih sampai berhasil mencapai dan melewati tahap itu. Yang kedua adalah yang tak pernah memikirkan hal ini. Keduanya sama saja berhasil mencapainya. Dan Anda yang belum melewatinya, teruslah berjalan, tidak perlu terlalu memikirkan tulisan saya ini. Tidak usah mencari-cari kesempurnaan yang akhirnya membawa kita pada keadaan sebaliknya, kecacatan. Tidak perlu mengikuti Kurt Cobain yang bilang lebih baik terbakar habis daripada memudar. Jalani hidup saja dengan menerima dan berserah. Jika Anda bisa tumbuh menua seraya membawa manfaat seperti Muhammad SAW, seperti Siddharta Gautama, seperti Newton, seperti Einstein, seperti Gus Dur, seperti Pram, seperti Mandela, seperti Gandhi, dan lain sebagainya, maka hidup seribu tahun lagi seperti apa yang Chairil Anwar bilang, siapa takut?
Selamat menjalani hidup. Happy Gajahilosophy Day and cheers!
Dewa KPHJ
Pernah Berusia 27
Pernah Berusia 27